Jumat, 13 Juni 2008

Konsep Ekuitas

Konsep Ekuitas

Dalam Perspektif Syariah

Pendahuluan

Konsep kepemilikan-terutama proporsi hak pemilik terhadap suatu entitas ekonomi-memang merupakan perbincangan yang menarik dalam relasinya dengan Indonesia sebagai negara yang sedang mengalami krisis akhir-akhhir ini. Berbagai pandangan kritis yang menggugat pandangan distribusi kepemilikan entitas ekonomi dalam agenda diskusi para pakar marak terjadi. Opini beberapa pakar tersebut diantaranya mensinyalir bahwa masih banyak terdapat kesenjangan dalam berbagai segmen—termasuk diantaranya distribusi kepemilikan entitas ekonomi—yang ikut mengerosi fundamen perekonomian nasional.

Masih dalam konteks tersebut, menarik untuk disimak komentar Peter F. Gontha tentang bursa efek Nasional dalam sebuah harian yang mengatkan bahwa belum terdapat sebuah regulasi dalam bursa efek yang mengatur proporsi kepemilikan saham untuk orientasi keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Bahkan secara faktual, indonesia merupakan negara satu-satunya didunia yang pasar modalnya masih depenuhi oleh perusahaan go-public dengan proporsi penguasaan saham dalam struktur kepemilikan dikuasai oleh satu orang atau kelompok usaha sampai sebesar 70% dari total jumlah saham. Bandingkan misalnya dengan singapura sebagai negara yang dikenal ekonominya telah menginternalisasikan efiesiensi sedemikian rupa, di mana penguasaan saham terbesar dalam bursa efeknya hanya berkisar antara 24,9%, itupun dengan pengawasan yang ketat.

Persoalan ini tentu saja merupakan fokus pengkritisan yang cukup menggelitik bagi masyarakat yang sudah semakin well-informed dan menuntut terhadap eksistensi entitas-entitas ekonomi yang mapan. Transpormasi kultural dalam jejaring komunitas era kesejagatan turut pula menstilmutan tendensi untuk mengartikulasikan pelan-pelan universal keadilan, egalitarian dan keterbukaan, yang selama ini diposisikan secara inferior. Kecenderungan seperti ini tentunya perlu segera disambut dengan strategi penyikapan secara lebih konkrit, responsif dan antisipasif terhadap problem masyarakat dengan memprioritaskan issue-issue yang rentan konflik sosial; misalnya oligopoly penguasaan atas harta milik yang didominasi segelintir orang. Dalam hal ini, dunia keilmuan dan akademis sebagai komponen masyarakat yang selayaknya tanggap terhadap berbagai simptom fenomena sosial bertanggungjawab untuk memberikan kontribusi aktifnya, baik dalam tataran teoritis maupun implementatif.

Dalam konteks modernitas sekarang ini, akuntansi sebagai disiplin ilmu dan praktik terbentuk dan berkembang sebagai praktik sosial di tengah masyarakat. Akuntansi sebagai ilmu pengetahuan sosial yang di satu pihak telah begitu bermanfaat dalam memberikan kontribusi pragmatisnya dalam kehidupan, namun disisi lain telah sekian lama pula teralienasi dari mode sosialnya. Akuntansi kapitalis dibentuk di atas seperangkat asumsi filosofi tentang pengetahuan, kemanusiaan dan realitas sosial sebagaimana ilmu-ilmu pengetahuan modern dibentuk, sarat dengan budaya ”ilmiyah” yang disertakan objektifitas, penjarakan serta kuantifikasi. sosok ilmu yang disampaikan dalam bahasa numerik, hadir dalam angka-angka beku, dan memandang manusia secara sederhana sebagai species yang murni rasional untuk memaksimalkan utilitasnya, memang menghadirkan segenap pesona "kemodernan” gaya komoditas kebudayaan istan. Kebudayaan “ilmiyah” dan modern yang telah memproduk akuntansi sedemikian, pada gilirannya turut mencetak cara pandang akuntansi yang melulu memotret realitas secara sepihak, dalam analisis “ilmiah” berdasarkan dokumentasi moneter dan angka-angka.

Namun jauh menembus batas-batas penampakan realitas, tidak dapat dipungkiri bahwa masih begitu dalam dunia bawah, yang sejauh berada dalam batas sekat-sekat angka, akuntansi gagal mengekspresikan kepermukaan. Banyak pakar akuntansi yang sadar terhadap indikasi ini kemudian mencoba keluar dari tabir “kemodernan” dan mengolah kembali pemahaman keilmuannnya dengan berbagai paradigma baru yang lebih menyentuh esoterisme keilmuan. Dan menarik untuk dicermati, bahwa sisi lain dari perspektif yang sebelumnya samar-yaitu gejala-gejala manusiawi tentang etik, nilai dan bahkan ideologi— menjadi lebih teraksentuasi dalam dialetika pemikiran. Tetapi memang terlalu terburu bila kemudian berharap pemikiran alternatif sejenis dapat dijadikan komoditas baru khas gaya berfikir ”modern” dan memang secara karakteristik ide-ide semacam ini tidaklah reproduktif dan populer. Namun minimal, para “seniman akuntansi” dapat berharap bahwa gagasan-gagasan seperti ini dapat dijadikan katarsis untuk merambah wilayah-waliayah eksotis ilmu pengatahian yang selama ini tidak tersentuh.

Keseluruhan narasi ini akhirnya membentuk kerangka di luar “kemodernan” sebuah kerangkan yang diorentasikan terhadap fokus pembicaraan pada satu bagian dari akuntansi- yakni akuntansi ekuitas- dengan penelaahan kritis menggunakan model pembahasan yang sedikit keluar dari penjara ”keilmiahan” era modernitas. Diskursus yang mencoba membahas kembali secara kritis akuntansi ekuitas sebagai konsep kepemilikan dengan menampilkan “sisi-sisi gelap yang lain” yang selama ini luput terpotret oleh angka-angka. Konsep kepemilikan sebagai konsep yang disatu pihak sarat dengan muatan nilai-nilai etis karena menyangkut hubungan antar individu dalam kolektivitas, yang tentu saja, tidak dapat begitu saja direpresentasikan secara objektivitas dalam bahasa numerik. Dan sacara bersamaan. Konsep ini juga sangat politis dan berpontensi konflik karena menyangkut dominasi, arogansi, dan nafsu manusiawi atas objek-objek yang dapat memuaskan kebutuhan dan keinginan manusia yang pada dasarnya serakah. Sebuah problem pelik sebagaimana pernyataan bijak Ghandi, “dunia cukup luas untuk mencukupi kebutuhan manusia tetapi sekali tidak memadai bagi keserakahan kita.”


Konsep Ekuitas dalam Ilmu Akuntansi

1. Pengertian dan teori Ekuitas

Berkaitan dengan persoalan konsep kepemilikan, akuntansi sebagai suatu disiplin sesungguhnya telah memiliki persepsi tentang konsep hak kepemilikan yang definitif. Pandangan akuntansi tentang konsep kepemilikan entintas ekonomi secara eksplisit tertuang dalam PSAK no.21 yang mengulas tentang akuntansi ekuitas. Didalam PSAK no.21 tersebut dinyatakan definisi ekuitas sebagai berikut: ekuitas merupakan bagian hak pemilik dalam perusahaan yaitu selisih antara aktiva dan kewajiban yang ada, dan dengan demikian tidak merupakan ukuran nilai jual perusahaan tersebut (IAI 1995,21.2)

Definisi ekuitas di atas diturunkan dari persamaan dasar akuntansi sebagai berikut :

Assets = Liabilities = Owner’s equities

Di dalam PSAK No.21 terdapat berbagai pembatasan konsep dan penjelasan tentang tata cara disclosure ekuitas yang diasumsikan dapat memenuhi tujuan dari PSAK No.21. Tujuan pelaporan akuntansi ekuitas dari PSAK no.21 tersebut secara eksplisit adalah sebagai berikut; Ekuitas sebagai bagian hak pemilik dalam perusahaan harus dilaporkan sedemikian rupa sehinggga informasi mengenai sumbernya secara jelas dan disajikan sesuai dengan peraturan perundangan dan akta pendirian yang berlaku (IAI 1995,21.1-21.2)

Bertolak dari definisi ekuitas di atas, dapat dicermati bahwa terdapat beberapa aspek yang menjadi pokok perhatian PSAK NO.21 terhadap akuntansi ekuitas; yaitu pada tersedianya informasi tentang sumber-sumber ekuitas serta tersajikannya informasi tentang ekuitas tersebut secara wajar sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Dengan demikian, definisi ekuitas dan di dalam akuntansi berusaha untuk “netral” tanpa mempertimbangkan aspek-aspek normatif-etis hak kepemilikan suatu entitas ekonomi. Sumber adanya ekuitas hanya dicantumkan sejauh perilakunya sebagai sumber ekonomi secara impersonal, tanpa merunut lebih jauh pada intensitasnya personalitas maupun emosionalitas.

Gagasan tentang teori ekuitas sesungguhnya berasal dari upaya untuk memasukkan logika dalam memandang dan menjelaskan persamaan dasar akuntansi. Penjelasan-penjelasan logis tersebut memuat basis perspektif yang berbeda terhadap tinjauannya atas persamaan dasar akuntansi sehingga mendeverisikan beberapa model teori ekuitas yang berbeda pula. Selanjutnya, penjelasan logis persamaan akuntansi dari berbagai perspektif tersebut akan menghasilkan suatu model teori ekuitas yang merupakan sebentuk penyikapan implisit terhadap ekuitas perusahaan secara teoritis, dimana yang telah dikenal antara lain adalah propriety Theory, Entity Theory, Residual Equity Theory, Enterprise Theory, dan Fund Theory.

Sejauh sampai definisi verbalnya, konsepsi teoritis tentang kepemilikan dalam ekuitas bukanlah suatu pernyataan yang mengekpresikan nilai normatif apa pun secara ekplisit. Akuntansi konvensional memposisikan ekuitas sebagai suatu hak residual atas kekayaan perusahaan yang kuantitasnya tidak diperoleh dari hasil pengukuran secara tersendiri.

Pengertian ekuitas sebagai kepentingan residual tersebut ditegaskan oleh APB sebagai pendifinisian dalam konteks terminologi sumber-sumber dan kewajiban-kewajiban ekonomi. Sehingga pengertiannya harus dipandang dalam konteks tersebut. Penjelasan atas hal ini diuraikan dalam APB statement no.4.

Karena kuantitas ekuitas yang dilaporkan dalam neraca adalah jumlah yang tergantung pada pengukuran aktiva dan kewajiban,dan bukan merupakan hasil pengukuran secara tersendiri, jumlah ekuitas yang tercantum dalam neraca tidak merepresentasikan current market value ataupun subjective value perusahaan untuk pemiliknya, jumlah nilai keseluruhan (aggregate) perusahaan bagi pemiliknya tidak dapat diukur melalu penilaian aktiva dalam kewajiban sehingga angka ekuitas yang dilaporkan tidak dapat menginformasikan current value dari hak-hak pemiliknya. Biasanya karena hanya faktor kebetulan bila jumlah ekuitas keseluruhan sama dengan jumlah nilai pasar keseluruhannya (aggregat market value) dari saham perusahaan atau jumlah yang dapat diperoleh dengan pelepasan seluruh aktiva bersih perusahaan baik satu per satu atau keseluruhan dengan asumsi kondisi kelangsungan usaha.

2. Komponen dan Tujuan Laporan Ekuitas

Sumber-sumber ekuitas pada dasarnya terdiri dari dua jenis, yaitu berasal dari investasi pemilik dan hasil usaha perusahaan, sedangkan pembatasannya terdiri dari pembatasan secara hukum dan pembatasan yang berasal dari kemampuan perusahaan. Sumber-sumber ekuitas dan batasan-batasan terhadap hak pemilik tersebut selanjutnya berfungsi sebagai dasar klasifikasi pelaporan komponen-komponen ekuitas yang terdiri dari setoran pemilik yang sering kali disebut modal, saldo laba, dan unsur-unsur yang lain. Secara lebih tegas, PSAK menggariskan pengungkapan ekuitas minimal harus secara jelas mengelompokkan komponen-komponen ekuitas sebagai modal disetor, saldo laba, selisih penilaian kembali aktiva tetap, dan modal donasi.

Ekuitas dalam entitas bisnis timbul dari hak kepemilikan atau ekuevalennya. Hak tersebut meliputi suatu relasi antara perusahaan dengan pemiliknya sebagai ‘pemilik'. Hak-hak pemilik perusahaan ini sangat variatif bentuknya. Walaupun demikian, apa yang menjadi pokus para akuntan secara umum tentang konsep ekuitas adalah sama; yakni hak-hak yang berkenaan dengan pembagian kekayaan perusahaan. Hak terakhir terhadap pembagian aktivia perusahaan pada saat likuidasi, serta hak-hak kepemilikan yang melekat dengan asumsi perusaaan sebagai going concern.

Menurut tuanakotta, tujuan penyajian ekuitas pemilik dalam ikhtisar-ikhtisar keuangan adalah berkaitan dengan pengungkapan hak-hak ekonomis tersebut. Hal ini dijelaskan secara mendetail dalam PSAK No.21 sebagai berikut: Ekuitas sebagai bagian hak pemilik dalam perusahaan harus dilaporkan sedemikian rupa sehingga memberikan informasi mengenai sumbernya secara jelas dan disajikan sesuai dengan peraturan perundangan dan akta pendirian yang berlaku. FASB menambahkan bahwa ekuitas harus merepresentasikan sumber-sumber distribusi dari perusahaan terhadap pemiliknya, baik dalam bentuk dividen tunai maupun distribusi aktiva-aktiva yang lain. karakteristik esensial dari pelaporan ekuitas dengan demikian berpusat pada bentuk-bentuk dan kondisi yangn menyertai transfer aktiva dari perusahaan terhadap pemiliknya.

Dari pernyatan tentang tujuan pelaporan ekuitas dalam PSAK no.21 dapat dismpulkan bahwa terdapat dua hal pokok yang menjadii fokus pelaporan, yaitu pertama sumber ekuitas, menyatakan bahwa titik pandang terhadap sumber ekuitas secara imperatif mensyaratkan perlunya klasifikasi atas hak-hak kepemilikan dan pelaporannya dalam neraca disebabkan karena relevansi pelaporan ekuitas untuk merefleksikan fakta bahwa pihak-pihak dengan berbagai hak kepemilikannya masing-masing dalam perusahaan memiliki perbedaan klaim dalam konteks penerimaan dividen atau pembayaran kembali modal pemilik. Selain itu, hal ini disesuaikan pula dengan kebutuhan pengambilan keputusan pemakai laporan apabila terdapat indikasi pembatasan-pembatasan baik formal maupun informal, misalnya pembatasan oleh hukum atau pembatasan lainnya terhadap kapabilitas perusahaan untuk membagikan atau menggunakan ekuitas.

Fakta pokok kedua adalah bahwa pelaporan ekuitas dalam neraca tidak menginformasikan secara tersendiri, tetapi justru memperlakukan hukum sebagai kerangka pembatas tata cara pelaporan ekuitas dalam neraca. Jumlah ekuitas yang dilaporkan dalam neraca bukanlah peraturan perundangan yang menetapkan hak seseorang atau suatu entitas terhadap kekayaan perusahaan secara otomatis, melainkan hanya perhitungan residual atas kekayaan perusahaan. Pada beberapa kasus empiris misalnya, perusahaan lebih berhak menahan ekuitas untuk kepentingan reinvestasi daripada hak seseorang atau suatu entitas untuk mematerialkan klaimnya atas ekuitas perusahaan tersebut

3. Sifat dan Batasan Konsep Ekuitas

Perhatian lebih akuntansi terhadap sumber dan pembatasan-pembatasan ekuitas sesungguhnya adalah persoalan yang erat terkait dengan sifat dari ekuitas itu sendiri. Pada umumnya sifat ekuitas dibedakan secara internal dan eksternal. Sifat-sifat tersebut dibedakan secara internal diantara klaim hak-hak kepemilikan dalam perusahaan-yaitu antara hak preferensi dan hak biasa- dan secara eksternal antara hak kepemilikan (equities) dengan kewajiban perusahaan (liabilities). Secara garis besar pembedaan tersebut berlaku dalam hal-hal berikut :

  1. Hak-hak prioritas yang dimiliki oleh equity holders

  2. Tingkat kepastian mengenai jumlah yang akan diterima oleh equity holders

  3. Waktu jatuh tempo pelunasan hak-hak terakhir

Dalam keadaan normal, terdapat pembedaan prioritas yang tegas antara kreditur, pemegang saham preferen, dan pemegang saham biasa. Para kreditur dibedakan secara jelas dengan pemegang saham dalam hal prioritas klaim terhadap perusahaan pada saat likuidasi. Pemegang saham preferen memiliki hak untuk didahulukan daripada pemegang saham biasa. Namun demikian, pemegang saham adalah residual claimants dalam hubungannya dengan klaim para kreditur.

Terdapat jaminan kepastian yang lebih besar dalam hal jumlah pembayaran dan waktu pelunasan terhadap kreditur dibandingkan dengan pemegang saham, dalam konteks pembayaran klaim. Klaim pembayaran oleh kreditur adalah pokok utang ditambah dengan bunga, dimana jumlah yang harus dibayarkan dan waktu pembayarannya biasanya telah ditentukan sebelumnya. Ekuitas sendiri bukanlah merupakan kewajiban absolut perusahaan yang harus diselesaikan dengan pemegang saham karena pemegang saham menanggung sejumlah risiko ketidakpastian sebagai pemilik perusahaan. Pembayaran return pemegang saham berupa dividen memuat ketidakpastian dalam hal jumlah maupun waktu pembayaran, dimana lazimnya tergantung pada jumlah laba yang direalisasikan atau dapat direalisasikan, jumlah laba yang ditahan dan tersedianya dana oleh perusahaan, sementara dalam hal waktu tidak dibatasi oleh pembayaran eksplisit yang mengikat.

Dalam beberapa tahun terakhir, kreasi instrumen-instrumen finansial bersamaan dengan praktik-praktik investasi yang semakin inovatif telah mengaburkan perbedaan yang tegas dan sederhana antara ekuitas dan kewajiban. Para akuntan harus mempelajari persoalan praktik-praktik dan instrumen finansial beserta perlakuan akuntansinya secara lebih komprehensif dan canggih untuk dapat membedakan keduanya secara tegas. Sehubungan dengan hal ini, terdapat beberapa penjelas oleh PSAK mengenai instrumen-instrumen keuangan yang dapat dilaporkan sebagai ekuitas di mana beberapa batasannya adalah sebagai berikut ;

  1. Bila pemegang instrumen keuangan tidak memiliki hak keuangan masa depan pada penerbit instrumen, namun berhak secara proposional atas dividen atau distribusi berlandaskan ekuitas.

  2. Instrumen keuangan tersebut tidak mengandung pemaksaan pelaksanaan kewajiban keuangan pada saat perusahaan berada dalam kondisi kurang menggembirakan.

  3. Instrumen keuangan tersebut tidak tergolong dalam kelompok kewajiban.

Pembedaan antara ekuitas dan kewajiban lebih dari sekedar persoalan bentuk penyajian di neraca, tetapi juga menyangkut pengaruhnya pada parameter-parameter penilaian kesehatan dan kinerja perusahaan. Sebagai contoh; ketika suatu instrumen finansial diklasifikasikan sebagai kewajiban atau sebagai ekuitas, penggolongan tersebut akan berdampak terhadap isi neraca, rasio aktiva terhadap ekuitas (asset to equity ratio) serta rasio utang terhadap ekuitas (debt to equity ratio). Lebih jauh lagi, pengaruh pengklasifikasian sebagai kewajiban atau ekuitas mempengaruhi pula penilaian terhadap pendapatan. Penghasilan (income) secara konvensional didefinisikan sebagai bagian dari perubahan ekuitas dalam satu periode tertentu, dan bukan sebagai hasil transaksi dengan pemilik dari instrumen ekuitas perusahaan. Pendapatan adalah hasil dari modal ekuitas (return on on equity capital) dan digolongkan sebagai arus masuk lebih dari jumlah yang dibutuhkan untuk mengelola modal. Tanpa adanya pembedaan yang tegas antara klaim kreditur atau klaim pemilik, penilaian pendapatan atau hasil investasi dari modal ekuitas (return on equity capital) mustahil untuk dilakukan jika penilaian pendapatan semacam ini tidak berjalan. Penilaian kontribusi perusahan pada kesejahteraan pemegang saham (shareholder welfare) sebagai salah satu parameter instrumen evaluasi kinerja manajemen tidak dapat dilakukan pula.

4. Konsep Ekuitas Kapitalisme

Ketika istilah penguasaan dalam kapitalisme menjadi penting, maka simbolisasi logika kekuasaan; yaitu hak milik, menjadi sangat penting pula. Ini terletak dalam hak penolakannya yang konsisten dengan sebentuk pemaksaan regulasi secara halus yang membedakan kapitalisme dengan rezim-rezim lainnya sebagaimna telah diulas sebelumnya. Suatu makna harta milik yang penting, walau sering terabaikan, adalah bahwa para pemilik dapat secara legal menolak mengizinkan milik-milik mereka dipakai oleh orang lain. Aspek vital dari uang atau komoditas kapital sebagian milik pribadi tidak terletak pada hak para pemiliknya untuk memakainya sekehendak hati, tetapi untuk tidak menggunakannya jika memang dikehendaki oleh pemilknya (heilbroner 1991,23). Hak inilah yang memungkinkan para kapital mendominasi lingkungan niaga dan produksi yang berada dalam wewenangnya.

Inilah sesungguhnya tema sentral dari kapitalisme, institusi hak milik privat yang menjamin bahwa setiap orang memiliki hak untuk mencapai komoditas ekonomi dan sumber dayanya melalui cara-cara legal, mengadakan perjanjian sehubungan dengan penggunaannya, serta melakukan perniagaan. Konsep kepemilikan dalam kapitalisme akhirnya tidak pernah beranjak dari penafsirannya yang puritan; orientasi kepentingan individu dimana setiap individu memiliki hak mutlak atas harta kekayaan yang dimilikinya dan diusahakan, baik ketika hak ini dipandang sebagai hak yang diturunkan secara alamiah atau berdasarkan hukum kodrat, maupun dari pandangan yang menganggap hak tersebut timbul dari pemberlakuan suatu hukum, baik normatif maupun positif.

Thorstein veblen adalah orang yang pertama yang menarik perhatian umum dengan pendapatnya tentang perubahan penting yang terjadi terhadap hakekat milik pada awal abad XX, suatu perubahan yang menuntut pembelaan terhadap milik (macpherson 1989,145-158). Dengan timbulnya perusahaan dan sistem keuangan modern yang berbeda dengan milik yang secara langsung produktif, pada dasarnya telah timbul hak atas suatu penghasilan yang dibuahkan oleh jerih payah dan kecerdikan orang-orang lain, dan oleh setumpuk pengetahuan serta teknologi yang sesungguhnya merupakan harta persedian bersama seluruh masyarakat. Gabungan para pemilik pabrik yang sekarag produktif—yang mencakup teknologi yang berkembang dimasyarakat—dengan cara menghentikan operasinya, mereka dapat memaksakan kehendak atau membuat keterampilan kerja masyarakaat menjadi tidak laku. Dan menurut kebiasaannya, mereka akan terus melakukan hal itu sampai pada taraf yang cukup jauh.


C. Ekuitas dalam Paradigma Syariah Islam

1. Keterbatasan dan problem normatif konsep ekuitas

Penyikapan akuntansi terhadap problem normatif pranata milik secara konvensional adalah dengan menempatkan dirinya pada posisi status quo. Akuntansi ekuitas menyatakan bahwa pelaporan ekuitas adalah sebatas pengungkapan hak-hak ekonomis pemilik yang terkait dengan perusahaan dan terikat oleh peraturan perundangan yang berlaku. Sehingga bukan merupakan regulasi yang mengikat secara tersendiri (Tuanakotta 19986, 174-175). Dari perspektif akuntansi konvensional, ekuitas adalah pernyataan simbolis kepemilikan yang netral, dimana ia adalah instrumen pembawa definisi klaim kepemilikan yang akan dilegitimasi secara tersendiri oleh dan tergantung pada peraturan perundangan yang berlaku. Akuntansi tidak bertanggungjawab terhadap legitimasi etis dari klaim kepemilikan.

Terdapat dua kemungkinan cara pandang terhadap akuntansi ekuitas dalam posisinya yang seperti ini. Cara pandang pertama dapat terjadi dengan jalan seolah ekuitas adalah sebuah pranata yang sama sekali netral dan instrumental. Ia merupakan nilai residual dari perhitungan aktiva dikurangi kewajiban perusahaan sehingga legitimasinya terletak pada terdapatnya selisih antara aktiva dan kewajiban. Dengan demikian, ia hanya menjadi representasi turunan dari pranata milik dalam bahasa ekonomis dan numerik, dimana pranata sesungguhnya adalah undang-undang yang mengikatnya yang merepresentasikan klaim kepemilikan.

Ada dua keberatan pokok yang ditujukan pada legitimasi dari pernyataan netralisasi dari ekuitas yang membebaskannya dari pertanggungjawaban etis tersebut. Pertama, persamaan akuntansi yang menghasilkan definitif ekuitas sebagai nilai residu bermaksud menjelaskan arti ekuitas dengan persamaan identitaas, bukan suatu penjelasan definitif, terlebih lagi substantif. Secara filosofis ia tidak berbentuk suatu legitimasi teoritis-etis yang ingin mempertanyakan tentang dasar ontologis, epistomologis, serta aksiologis dari eksistensi ekuitas. Ini dapat dianalogikan dengan contoh berikut; suatu persamaan 4-1=3 dapat disebut sebagai persamaan identitas tetapi tidak menjelaskan apap pun tentang apakah substansi dari simbol 3 itu ketika, misalnya 4-1 dinisbahkan Atau dengan cara lain, bagaimana dampak eksistensi 3 terhadap sisi persamaan yang lain dan konteks tempat ia ada? Dengan cara sama, ekuitas tidak dapat dijelaskan hanya dengan pernyataan bahwa ia merupakan hasil residu dari aktiva dikurangi kewajiban perusahaan karena sesungguhnya ia (aktiva-kewajiban dan ekuitas) bukan merupakan persamaan identitas.

Persoalan tersebut seharusnya terbantah karena ekuitas tidak dapat dijelaskan dengan cara demikian, sebab persamaan akuntansi (aktiva-kewajiban=ekuitas) bukan merupakan persamaan identitas biasa. Sebagaimana diketahui, ketika sudut pandang akuntansi telah diterapkan dalam persamaan maka perubahan unsur-unsur persamaan akuntansi akan berdampak pada perubahan orientasi dan perilaku akuntansinya. Sebagai contoh, penjelmaan ekuitas dalam persamaan dasar sebagai stocholder equities akan berbeda secara radikal dengan bentuk proprietorship. Artinya, apa yang bermakna dalam konteks sosiologis, yang berarti membutuhkan legitimasi etis, adalah perwujudan ekuitas dalam persamaan yang faktual. Persamaan dasar tidak butuh legitimasi etis, karena ia selalu berbeda dalam kondisi noninstrumental. Hal ini cukup membuktikan bahwa ekuitas bukanlah suatu identitas biasa.

Keberatan kedua, ketika suatu instrumen atau pranata cukup aplikatif untuk menjadi netral, dalam arti dapat eksplotasi untuk dan oleh nilai apapun, maka ketika itu pula ia menjadi identik dengan nilai yang harus dilegitimasi dengan argumentasi dengan argumentasi teoritis-etis. Sebuah instrumen hanya dapat bermakna sejauh ia berada dalam tataran instrumentalnya, yakni dalam kondisi praktik manusiawi yang terkait dalam konteks tertentu. Artinya, ia menjadi berarti ketika ia memiliki nilai dan tujuan yang bernilai untuk diupayakan yang menjadikan dirinya dalam keadaan instrumentalnya karena ia akan kehilangan maknanya. Dan adalah hal yang mustahil bila ini dimaksudkan untuk subjek akuntansi ekuitas yang berpengaruh luas pada realitas sosial, minimal dalam konteks ekonomis. Dengan demikian, netralitas akuntansi ekuitas sampai batas tertentu tetap bernilai, tetap merupakan posisi yang memiliki “posisi”. Posisi ini selanjutnya akan mengimperasikan sejumlah konsekuensi, adalah wajar bila perlu legitimasi.

2. Konsep ekuitas dalam pandangan syariat Islam

Konsep kepemilikan dalam islam merupakan suatu konsep dengan metafora amanah (triyuwono 1995:2000) dimana seseorang yang memiliki suatu barang pada haekatnya memperoleh suatu titipan yang diamanatkan kepadanya untuk dimanfaatkan sebaik-baiknya. Karakteristiknya diuraikan oleh Mannan sebagai berikut :kekhasana konsep islam mengenai hak milik pribadi terletak pada kenyataan bahwa dalam Islam, Legitimasi hak milik tergantung pada moral yang dikaitkan padanya, seperti juga jumlah matematika tergantung pada tanda aljabar yang dikaitkan padanya. Dalam hal ini, lagi-lagi Islam berbeda dengan kapitalisme dan komunisme, karena tidak satupun dari keduanya itu yang berhasil dalam menempatkan individu selaras dalam suatu mosaik sosial. Hak milik pribadi merupakan dasar kapitalisme, sedang penghapusannya merupakan sasaran pokok ajaran sosialisme.

Sementara itu, nalar juga memberikan gagasan bahwa individu yang menciptakan suatu benda juga bertanggungjawab atas wujud benda itu sebagai pemiliknya; ia memiliki klaim penuh atasnya. Sebagaimana individu memiliki kebebasan bertindak berkenaan dengan dirinya, ia juga memiliki klaim yang tak terbantah atas apa saja yang diciptakannya. Atas pertimbangan ini, kepemilikan sebagai hasil kerja seseorang dan bentuknya yang disadari olehnya, dianggap sebagai hal yang natural dan logis.

Kedua konsep diatas merupakan doktrin etis Islam; yaitu Tuhan sebagai pemilik Mutlak atas segala sesuatu (QS Ali –Imran,189). Sementara manusia hanya menjadi wakilnya di bumi (QS Al-Baqarah 30). Dari premis pertama tersebut selanjutnya dapat ditarik premis kedua bahwa manusia dalam kehidupan sosial yang ada, memiliki suatu klaim kepemilikan, baik yang bersifat individual maupun kolektif. Dari premis awal pula, logika menetapkan bahwa produsen suatu barang dinisbahkan sebagai pemiliknya. Atau dengan kata lain, seorang manusia yang memiliki diri otentik diamanatkan sebagai pemilik kerjanya maupun produk kerjanya. Ini merupakan salah satu asal –usul kepemilikan insaniah; yaitu pertama, kerja kreatif. Kerja kreatif dapat dianggap sebagai sumber kepemilikan, yang tercangkup oleh dan sesuai dengan nalar sedemikian hingga tidak perlu ada paradoks atau paralelisme (bahesti 1992, 14-15). Kerja kreatif menciptakan nilai konsumsi baru dan meningkatkan kualitas dan kuantitas nilai konsumsi keseluruhan yang ada. Tingkatan kepemilikan individu atas komoditas yang diproduksinya dapat diukur oleh kontribusinya dalam proses produksi tersebut. Dalam hal ini, kerja produktif yang dimaksud mencakup baik aktivitas langsung maupun tidak langsung yang memberikan tambahan bersih pada kuantitas dan kualitas barang.

Kedua; dalam konteks lainnya, ada bentuk kepemilikan yang berbeda dengan yang pertama, yaitu ketika dijumpai perolehan yang berasal dari alam tanpa perlu mengolah atau memodifikasinya. Dalam hal ini, apa yang dilakukan sesungguhnya adalah kerja konsumsi dimana tindakan itu tidak dapat disebut sebagai aktivitas ekonomi atau aktivitas produktif. Persoalan seperti ini mengharuskan bahwa selain produksi, terdapat kepemilikan lainnya yang disebut perolehan (acquisition), yang dalam terminologi fiqh atau yurisprudenci syariah memiliki nama lain hiazat, yang ringkasnya berarti kepemilikan atas sesuatu (bahesti 1992,19-21). Manusia memalii hiazat memiliki bagiannya atau apa yang menjadi miliknya, tidak menjadi soal apakah hiazat tersebut merupakan asal-usul kepemilikan atau mendahuli prevalensinya. Manusia dipandang sebagai pengatur alam, memiliki hak memanfaatkan atau mengeksplotasikannya, tentu saja dengan cara-cara yang baik. Seluruh manusia adalah pengatur alam, sementara masing-maasing individu memiliki “jatah” rizkinya sendiri sehingga ia berhak berpartisipasi dalam praktek hiazat guna memperoleh keuntungan dari karunia alam. Hiazat mengandung arti menjadikan sesuatu sebagai milik atau mengambil kendali atas sesuatu. Jadi hiazat adalah perolehan jatah seseorang dari asset keseluruhan.

Kepemilikan oleh individu terhadap alam ada bersama orang lain dalam bentuk kepemilikan kolektif. Sifat kepemilikan demikian disebut musya (bahesti 1992, 21-22). Dalam hukum islam terdapat dua bentuk kepemilikan kolektif yang dipertahankan (bahesti 1992, 22-25). Satu bentuk adalah kepemilikan masyarakat, yang melalui hiazat, kepemilikan individu dimunculkan. Sementara itu, bentuk lainnya muncul sebagai kepemilikan kolektif yang bersifat tetap. Pandangan tersebut menganggap bahwa milik masyarakat tidak sama dengan milik bersama. Yang pertama berarti kepemilikan atas kekayaan atau sumber-sumber ekonomi yang eksistensinya berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat secara keseluruhan, sementara yang kedua adalah kepemilikan kolektif yang belum direalisasi sebagai milik individu. Dinyatakan dalam salah satu hadits: “kepemilikan manusia terbagi dalam tiga barang: api, air, dan padang rumput”. Kesimpulan yang dapat diambil dari pernyataan hadits ini adalah bahwa dalam hal ini kepemilikan masyarakat, semua orang dapat memanfaatkannya tanpa menjadi pemilik kekayaan tersebut.

Berkaitan dengan kepemilikan individu, walaupun diperoleh melalui cara-cara yang sah, tidak begitu saja menjadi halal pula kecuali telah dikeluarkan bagian hak kolektifnya dari kepemilikan individu. Islam menempati posisi unik dalam hal ini dengan mendasarkan diri pada kerangka etis keseimbangan di mana dalam hak seseorang atas kekayaan secara bersamaan terselip pula azasi hak orang lain.(QS Al-Anam 141)

Sebagaimana dinyatakan oleh ayat diatas, zakat adalah representasi azas keseimbangan hak kepemilikan dalam islam. Substansi zakat bukan sekedar kewajiban individu terhadap masyarakat, tetapi lebih dari itu, ia merupakan hak masyarakat atas individu secara langsung. Segera ketika seseorang memperoleh sejumlah akumulasi kekayaan tertentu, bersamaan dengan itu terbit pula hak masyarakat atasnya.

Konsep demikian lebih tegas daripada konsep liberal yang menempatkan kepedulian sosial dalam kerangkan kewajiban kemanusiaan. Hal ini sekaligus juga menjawab problem penempatan hak kolektif di atas hak individu terhadap kekayaan seperti dalam sosialisme marxis. Bahwa secara natural memang akan selalu ada golongan yang lebih mampu dari golongan yang lain, namun ini tidak menyebabkan kelebihan tersebut harus disamakan, atau sebaliknya harus dibebaskan dengan pembatasan yang bersifat sekunder.


Berangkat dari kerangka ini, A.M.Saefuddin kemudian menyarikan nilai-nilai dasar kepemilkan dalam Islam (munief 1997,67-69). Nilai-nilai dasar tersebut ditambah dengan point 4 yang merupakan interpretasi penjelasan sebelumnya tentang zakat sebagai hak kolektif :

  1. pemilikan terletak pada pemilikan kemanfaatanya dan bukan penguasaan mutlak terhadap sumber-sumber ekonomi. Hal ini tertuang dalam aturan-aturan syariah dalam bentuk yang ketat; seseorang yang tidak mengolah dan memproduksi manfaat dari sumber-sumber ekonomi yang diamanatkan Allah swt kepadanya akan kehilangan haknya atas sumber-sumber ekonomi tersebut.

  2. Pemilikan terbatas sepanjang umur hidup seseorang. Apabila dia meninggal dunia, kepemilkan harus disitribusikan kepada ahli warisnya menurut ketentuan syariah.

  3. Pemilikan perorangan tidak diperbolehkan terhadap sumber-sumber yang menyangkut kepentingan umum atau menyangkut hajat hidup orang banyak. Yang dimaksud dalam katagori ini adalah barang tambang, minyak bumi dan kebutuhan pokok manusia pada waktu dan kondisi tertentu; termasuk di dalamnya sumber-sumber air minum, hutan, udara, dan ruang angkasa.

  4. Dalam kepemilikan perorangan yang sah, masih terdapaat klaim kepemilikan kolektif dalam bagiannya itu yang dapat menjadikaannya tidak sah bila tidak terbagi. Untuk mensahkannya perlu dikeluarkan dahulu hak dari sebagian orang yang lain sesuai tata cara syariah.


Syariah sebagai hukum positif selanjutnya menetapkan dan mengatur konsep kepemilikan pribadi tersebut sebagai berikut : (munif 1997, 73-76)

    1. Ketentuan pertama menegaskan bahwa syariah tidak mengizinkan kepemilikan kekayaan yang tidak dimanfaatkan.

    2. Ketentuan kedua mencakup ketentuan syariah mengenai perilaku pemilik kekayaan pribadi dimana ia harus membayar zakat sebanding dengan kekayaan yang dimilikinya. Bagi yang tidak mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokoknya atau tidak bisa bekerja, tidak wajib mengeluarkan zakat.

    3. Ketentuan ketiga memberikan tekanan terhadap penggunaan yang berfaedah dari harta benda di jalan Allah, yang berarti semua hal yang bermanfaat bagi masyarakat secara keseluruhan dan mendatangkan kemakmuran serta kesejahteraan bersama.

    4. Ketentuan keempat terkait dengan ketentuan sebelumnya, di mana penekanannya terhadap harta benda yang berfaedah berarti pula membebankan kewajiban kepada pemilik harta benda itu untuk menggunakannya sedemikian rupa sehingga tidak mendatangkan kerugian bagi orang lain atau masyarakat.

    5. Ketentuan kelima menekankan legalitas yang mengatur perilaku pemilik harta benda. Seluruh tindakan untuk memperoleh dan memanfaatkaan harta benda tidak diperbolehkan melalui cara-cara yang melanggar syariat.

    6. Ketentuan keenam mensyaratkan pemilik harta benda untuk memanfaatkan kepemilikannya secara seimbang; dengan tidak boros maupun kikir.

    7. Ketentuan ketujuh menegaskan penggunaan harta benda dengan menjamin kemanfaatannya sesuai hak pemilik.

    8. Ketentuan terakhir merupakan ketentuan yang mengatur pengawasan dan pembagian harta karena kematian pemiliknya untuk kepentingan yang ditinggalkan melalui hukum waris.


Berangkat dari prinsip-prinsip dasar kepemilikan dalam islam serta aturan-aturan syariah yang mengatur konsep kepemilikan, dalam konteks pemilikan sarana-sarana produksi, Islam menekankan pertanggungjawaban personal di antara anggota-anggota organisasi bisnis. Ini menyebabkan organisasi –organisasi bisnis yang sebenarnya. Dalam Islam, suatu organisasi bisnis dipandang sebagia kontrak dalam dua atau lebih individu bersepakat untuk memberikan baik modal maupun tenaga kerja pada suatu usaha bersama. )gambling dan karim 1991, 35)

Konsep kepemilikan secara syariah akhirnya dapat disimpulkan merupakan satu konsep yang berusaha untuk menyeimbangkan kebebasan individu dengan kepentingan masyarakat yang secara spesifik terkait erat dengan nilai etis yang berangkat dari nilai-nilai dasar Islam. Inilah kekhasan dari paradigma kepemilikan syariah sekaligus kesulitan tersendiri dalam penerapannya. Keseimbangan yang dicita-citakan dalam konsep kepemilkan menurut paradigma Islam seringkali bersifat normatif dan ideal hingga sukar diterjemahkan dalam bentuk yang lebih material. Untuk menjamin terlaksananya nilai-nilai etis yang berlaku dalam konsep kepemilikan syariah. Sejauh institusi-institusi tersebut masih bersifat elestis; dalam arti bahwa masyarakat luas kurang memiliki akses terhadap mekanisme syura hingga dapat menghasilkan keputusan yang berpihak pada masyarakat, maka implementasi konsep kepemilikan yang seimbang tetap akan sulit terwujud. Sebagaimana teori-teori kepemilikan liberal yang memberikan legitimasi etis pada kerakusaan rezim kapitalisme; teori kepemilikan syariah dapat pula terjebak dalam posisi lebih buruk; memberikan legitimasi etis terhadap konsep kepemilikan yang diatur secara otoritier oleh negara dengan pembenaran atas nama tuhan.

Apabila pelaksanaan konsep kepemilikan syariah ternyata tidak didukung secara institusional oleh kelengkapan pranata-pranata syariah, maka dapat terjadi perwujudan nilai-nilai etis Islam dalam konsep kepemilikan hanya mengandalkan kepatuhan personal seorang muslim terhadap khaliqnya. Jika ini yang terjadi, paradigma islam tidak akan dapat dibahasakan secara komunal karena masyarakat sebagai kolektifas tidak memiliki kepanjangan tangan melalui institusi-institusi untuk mengendalikan dan memastikan bahwa aturan-aturan syariah telah ditegakkan. Secara pragmatis, doktrin-doktrin etis memang sering kali harus berhadapan dengan fakta empiris. Mengharapkan semata-mata pengawasan langsung dari Allah swt sebagai hakim yang muthlak tentu saja merupakan utopis asketis luar biasa yang dapat mengakibatkan kesewenang-wenangan terhadap kemanusiaan, otomatis mengibiri keagungan Islam


  1. Komparatif interpretatif konsep ekuitas

1. Asumsi dan pokok bahasan ekuitas

Secara umum, pokok pembahsan yang ingin dijawab, timbul dari kerangka fundamen asumsi-asumsi yang tersusun sebelumnya pada uraian tentang latar belakang pemulisan. Asumsi-asumsi tersebut sangat penting sebagai basis pertanyaan-pertanyaan yang muncul kemudian. Sebagaimana telah diuraikan dalam alur pemikiran sebelumnya, asumsi-asumsi berikut mungkin terasa kurang lazim bila mengacu pada figur akuntansi kapitalis. Namun demikian, penjelasannya akan tetap didasari atas argumentatisi logis sebagaimana telah diuraikan pada latar belakang penulisan. Asumsi-asumsi tersebut secara beruntun dijabarkan sebagai berikut:

  1. Akuntansi tidak bebas nilai sehingga secara implisit mengandung karakter-karakter subjektif yang inherin.

  2. Konsep ekuitas adalah salah satu metafor yang merupakan simbol konsep kepemilikan dalam bahsa akuntansi yang niscaya tidak dapat bebas nilai pula.

  3. Beberapa tinjauan para pakar berakhir pada kesimpulan bahwa konsep kepemilikan dalam akuntansi banyak dipengaruhi oleh ide kapitalisme.

  4. Aktiva dan kewajiban sebagai komponen penyusunan persamaan akuntansi yang membentuk Teori Ekuitas diasumsikan sebagai given dan tetap.

2. Analisa Kepemilikan dalam Ekuitas Kapitalis

Batasan-batsan definitif sebagai bagian hak pemilik dalam perusahaan sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya pada akhirnya menyertakan beberepa konsekuensi etis yang membuka ruang dialetik untuk perdebatan pemikiran. Morgan-seorang pakar akuntansi alternatif-pernah menyatakan bahwa teori dan praktik akuntansi pada dasarnya dapat dipandang sebagai sebuah metafor yang mewakili ide-ide tertentu dari fakta dan realitas (morgan 1988).

Dengan logika deduktif, akuntansi ekuitas dapat dipandang dengan cara lain sebagai metafor klaim kepemilikan dalam bahasa numerik. Lebih jauh lagi, akuntansi ekuitas sebagai metafor klaim kepemilikan berarti mengukuhkan pada dirinya sebuah pranata milik yang harus mendasarkan diri dan dimapankan oleh legitimasi etis tertentu. Ini adalah pokok pikiran yang linear dengan elaborasi sebelumnya; bahwa setiap pranata milik memerlukan teori pembenar dengan cara mana hak kepemilikan dipahamkan sebagai pranara pribadi sejauh terdapat keyakinan umum bahwa hal tersebut adalah lebih asasi.

Problem normatif yang kemudian timbul dari terbukanya diskursus etis ini adalah apa yang disebut dalam katagori-katagori bahasa foilosofis sebagai problem apa-nya (ontologi) dan bagaimanya (epistemologi) konsep kepemilikan dalam ekuitas. Dengan kata lain, akuntansi ekuitas sebaagi simbolisasi nilai tertentu tentang klaim kepemilikan harus dapat dilacak secara sistimatis menuju preposisi etisnya, dan kemudian dijelaskan korelasi dan proses berlakunya hingga menjadi sebuah pernyataan aksidental yang diskrit. Sebagai sebuah pranata milik yang memapankan suatu proposisi dan konsepsi tertentu tentang klaim kepemilikan, ekuitas menjadi metafor dari suatu substansi yang harus mampu secara argumentatif menjawab problem ini untuk secara etis sah menyatakan dirinya sebagai pranata milik.

3. Ekuitas dan Hakikat Kepemilikan

Pengertian tentang milik tidak pernah permanen sepanjang sejarah peradaban. Dari waktu ke waktu seiring dengan perubahan dan suksesi berbagai aspek sosial-budaya masyarakat yang berdimensi kompleks, pranata serta persepsi orang tentang realitas material selalu berubah pula. Terjadinya perubahan tersebut sangat terkait dengan perubahan-perubahan tujuan masyarakat atau golongan tertentu yang dominan yang diharapkan dapat dilayani oleh pranataa milik.

Hal ini pada akhirnya mengakibatkan pengertian tentang kepemilkian sangat korelatif dengan konteks kulturnya, spasial, dan kesejarahannya.

Pada saat harapan-harapan mengalami perubahan, problem kepemilikan mulai berkembang menjadi permasalahan yang kontroversial. Soalnya bukan saja tentang bagaimanakah seharusnya pranata milik itu ditetapkan, tetapi juga perdebatan mengenai hakikat pranata milik itu sendiri.begitu setiap orang memiliki harapan yang berbeda-beda, maka tentu saja mereka akan melihat fakta-fakta tentang pranata buatan manusia yang menciptakan dan melestarikan relasi tertentu antara orang-orang, dan itulah sesungguhnya hakikat milik yang tidak akan pernah dapat disimplikasikan dalam sebuah penjelasan yang defintif. Pranata dibuat dan dimapankan untuk tujuan tertentu, baik untuk mengabdi pada kebutuhan-kebutuhan manusia yang dianggap esensial, yaitu yang akan mendeterminasi-sekurang-kurangnya batas-batas itu-apakah pranata itu,maupun untuk memenuhi kebutuhan golongan yang dari waktu ke waktu telah membuat atau mengubahnya ke dalam bentuk tertentu.

Ide orang tentang kepemilikan dapat dikatakan adalah akibat sekaligus sebab dari apakah sebenarnya problem tentang kepemilikan tersebut pada konteks tertentu. Gagasan mereka tentunya memiliki relasi tertentu-meski tidak selalu merupakan analog yang persisten-dengan realitas yang sesungguhnya eksis. Dan perubahan-perubahan terhadap realitas sebagian memang disebabkan pula oleh perubahan ide dan pandangan orang mengenai hal tersebut. Ini berarti bahwa kepemilikan adalah suatu pranata sekaligus suaru gagasan, dimana keduanya selalu dalam keadaan saling berpengaruh satu sama lain sepanjang perkembangannya.

Bersamaan dengan suatu komunitas-baik berdasarkan adat, konsensus, atau hukum-membuat suatu pembedaan antara milik dan sekedar memiliki harta benda fisik, maka secara otomatis dapat diartikan bahwa masyarakatnya sesungguhnya telah menerima secara implisit milik sebagai suatu hak. Memiliki suatu pemilikan adalah memiliki hak, dalam arti suatu klaim yang bersifat memaksa terhadap suatu utilitas atau manfaat atas sesuatu. Apa ynag membedakan antara harta milik dengan sekedar pemilikan sementara adalah bahwa milik itu merupakan suatu klaim yang dapat dipaksakan oleh masyarakat atau negara, oleh adat, atau sebuah konsensus maupun hukum.

Sebagai suatu klaim yang bersifat memaksa, tidak berarti bahwa semua ahli teori telah sepakat secara etis mengenai implementasi pemaksaan hak milik oleh suatu perangkat hukum. Sebaliknya, bahkan seorang pakar liberal pun menegaskan bahwa rangkaian hak yang ada- yaitu klaim-klaim yang dapat dipaksakan-tidaklah secara moral niscaya benar, dan bahwa serangkaian hak-hak yang lain hatus diresmikan. Dengan berbuat demikian, mereka beranggapan bahwa serangkaian klaim yang saling beroposisi harus dapat dibuat menjadi hal yang dapat dipaksakan pula untuk menjaga harmoni antara hak dan kewajiban.

Klaim kepemilikan tidaklah berlandaskan pada ancaman semata-mata.ancaman paksaan hanya ditampilkan sebagai instrumen yang dianggap perlu untuk menjamin suatu hak yang bersifat “azasi”, walaupun perdebatan tentang tingkatan kualitatif ”azasi” dalam bahasa individu vs bahasa kolektif sampai saat ini masih berlangsung dalam porsi intensif antara berbagai perspektif pemikiran. Milik dianggap sebagai suatu hak bukan karena milik adalah klaim yang dapat dipaksakan, legitimasi paling populer terhadap setiap pranata milik, yaitu bahwa milik harus merupakan klaim yang dapat dipaksakan, disebabkan karena milik perlu merealisasikan alam fundamental manusia. Milik berperan demikian, yaitu merupakan klaim yang dapat dipaksakan, hanya karena dan sejauh teori etika yang unggul beranggapan bahwa hal itu adalah hak manusiawi yang sudah seharusnya ada. Dengan kualifikasi ini, anggapan bahwa kepemilikan adalah suatu hak tidak berarti menyetujui pula suatu sistem tertentu mengenai kepemilikan sebagai benar,dan telah merumuskan hak aktual sebagai klaim yang dapat dipaksakan secara aktual pula.

Implikasi logis dari definitif kepemilikan sebagai suatu klaim yang dapat dipaksakan akan mengarahkan terminologi kepemilikan secara sosiologis dalam hubungan politik antar personil. Kepemilikan adalah suatu fenomena politik, dimana terdapat suatu hubungan interaksi yang kohesif dalam afinitas motif-motif yang saling berbeda antar pribadi-pribadi. Setiap sistem milik adalah suatu sistem hak dari setiap pribadi dalam hubungannya dengan pribai-pribadi yang lain. Ini tampak jelas dalam permasalahan milik pribadi modern; yakni hak seseorang untuk mengesampingkan orang lain dari sesuatu atau untuk tidak dikesampingkan dari sesuatu, dimana hal ini berlaku pula pada setiap bentuk milik bersama. Gagasan tentang suatu klaim yang dapat dipaksakan pada akhirnya niscaya bersifat politis karena harus didasari oleh motif-motif atau nilai normatif individu yang berbeda-beda yang diperjuangkan oleh masing-masing orang sehingga perlu ada suatu perangkat pemaksa tertentu untuk menjamin harmonisasi interaksi antar-individu ini.

4. Urgensi Teori-Teori dalam Ekuitas

Ketika kepemilikan berkembang menjadi permasalahan yang kontroversial, pada saat itu pula mulai timbul tuntutan kritis terhadap lembaga dan pranata-pranata milik. Problem yang paling umum adalah bahwa lembaga atau pranata-pranata milik selalu dianggap memerlukan legitimasi berdasarkan tujuan sosial atau tujuan yang lebih menusiawi secara azazi. Alasannyaa tercakup dalam dua fakta yangn telah diuraikan sebelumnya mengenai hakikat milik; pertama, bahwa milik adalah suatu hak dalam arti suatu klaim yang dapat dipaksakan, dan kedua, bahwa meskipun sifat klaim yang dapat dipaksakan tersebut membuat hak kepemilikan menjadi hak menurut hukum, namun karakter yang dapat dipaksakan itu sendiri tergantung pada keyakinan suatu masyarakat bahwa hak tersebut adalah hak moral. artinya, milik tidak dipandang sebagai suatu hak karena dapat dipaksakan, tetapi milik adalah klaim yangn dapat dipaksakan sejauh milik tersebut dipandang sebagai hak yang manusiawi. Ini adalah cara lain untuk mengatakan bahwa setiap lembaga milik memerlukan teori pembenar sebagai legitimasi etis. Hak menurut hukum haruslah didasarkan atas keyakinan umum bahwa hal itu adalah sesuatu yang bersifat lebih azazi. Jika kepemilikan tidak memiliki legitimasi seperti itu, maka milik bukanlah sesuatu yang substansi dan tidak akan dapat bertahan sebagai klaim yang dapat dipaksakan. Jika milik tidak memperoleh pembenaran, maka ia tidak dapat dikatakan sebagai milik.

Terdapat semacam konsensus perhatian terhadap karakter umum berbagai teori pembenar, teori-teori legitimasi yang meningkat dalam gradasi-gradasi kualitatif milik atas sarana-sarana hidup yang paling dasar sampai ke tingkat yang lain; yaitu milik atas sarana-sarana hidup yang menghasilkan keperluan-keperluan untuk kehidupan. Puncak legitimasi pranata milik, tetapi kehidupan manusiawi secara penuh, suatu “kehidupan wajar”, sebagaimana dikatakan oleh para filsuf idealis mulai plato sampai T.H. Green, atau minimal sebagaimana diringkaskan oleh parta filsuf utilitarianis seperti J.S.Mill sebagai “ kehidupan yang menguntungkan”. Namun demikian, dengan sedikit perhatian yang lebih cermat, para pemikir yang serius segera dapat melihat bahwa hak-hak atas apa yang diperlukan untuk menghasilkan pranata-pranata kehidupan bahkan adalah lebih penting.

Tidak diragukan lagi, hak atas komoditas yang diperlukan untuk mempertahankan hidup dalam arti tertentu adalah yang paling azasi. Misalnya tanpa milik atas kehidupan makan sehari-hari, maka milik jenis lain apapun tidak akan berguna sama sekali. Tertadap jenis-jenis kepemilikan lain yang lebih berpengaruh secara luas, misalnya milik dalam bentuk tanah dan modal. Barang-barang tersebut, bilamana disertai dengan kerja seseorang, membawa serta suatu kekuatan untuk dalam taraf tertentu mengendalikan kehidupan orang lain. Milik yang berbentuk alat-alat produksi lebih memerlukan legitimasi daripada milik biasa dalam bentuk komoditas komsumsi untuk hidup dengan argumen ini, meskipun teori-teori milik itu mungkin bermula dari suatu pembenaran tehadap milik yang berbentuk barang-barang konsumsi, namun teori-teori tersebut kemudian berkembang semakin kompleks menjadi problem pembenaran (atau serangan) terhadap milik dalam bentuk tanah, modal, dan tenaga kerja. Hal inilah-potensi untuk mempengaruhi kehidupan -orang lain-yang mengarahkan diskursus tentang legitimasi milik memasuki wilayah-wilayah etis.

Suatu sistem hak atas milik adalah suatu sarana yang digunakan oleh masyarakat dalam usahanya untuk melaksanakan tujuan para warganya, atau sebagian tujuan dari para warganya. Namun demikian, permasalahan yang timbul seiring perkembangan kompleksitas hak milik melampaui hak-hak atas kebutuhan primer mengarahkan diskursus kepemilikan menjadi perdebatan yang tidak pernah putus. Setiap sistem milik cendrung berubah berdasarkan momentumnya sendiri, dengan membawa konsekuensi yang berbeda daripada yang dimaksudkan pada awalnya. Sementara terjadi seperti itu, sistem tersebut sangat mungkin memerlukan penyesuain kembali agar segala deviasi dari tujuan semula dapat dikoreksi.

Usaha-usaha reformulasi seperti inilah yang dapat ditelaah kemudian sebagai pengembangan berbagai alternatif teori pembenar konsep kepemilikan. Pergumulan dialetis, bahkan oposif, berbagai gaya pemikiran tentang milik tak pelak telah membuka ruang untuk mengedepankan pula klaim-klaim ideologis dari masing-masing pendapat karena pengaruh latar belakang ide para penggagasnya. Dan tepat pada titik ini, setiap pemikiran tidak pernah menjadi bebas ideologis.


  1. Penutup

Berdasarkan ekspolarasi dasar-dasar teori, dilanjutkan dengan elaborasi yang cukup sistematis, serta diakhiri dengan analisis komparatif interpretatif berdasarkan bukti-bukti pendukung yang didapat, maka beberapa point penting yang diperoleh dari seluruh analisis tersebut dipaparkan sebagai kesimpulan sebagaimana dibawah ini.

Disiplin ilmu akuntansi bukanlah ilmu atau instrumen yang nnetral (value-free), namun merupakan disiplin (dan praktik) yang sarat dengan muatan nilai dan ideologi yang berinteraksi saling mempengaruhi dengan realitas sosial. Secara makro akuntansi dipengaruhi oleh sistem ideologi di mana akuntansi itu dipraktekkan, dan secara makro juga dipengaruhhi oleh bentuk organisasi. Faktor-faktor akuntansi selanjutnya akan dipengaruhi oleh akuntansi, termasuk mempengaruhi perilaku manusia.

Teori ekuitas merupakan bagian yang tidak dipisahkan dari disiplin akuntansi. Teori ini akan mewarnai bentuk akuntansi itu sendiri, termasuk informasi akuntansi yang disajikan. Sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari disiplin akuntansi, teori ekuitas juga tidak steril dari basis nilai normatif dan ideologi tertentu yang melingkupinya. Dengan basis parameter moneternya, teori ekuitas sebagai perwujudan kepemilikan memaparkan informasi ekonomi-kuantitatif yang konsekuensinya akan mempengaruhi perilaku dari pengguna informasi tersebut.

Hak kepemilikan sendiri yang dalam realisasinya berpeluang memiliki peran sebagai regulator, sebagai kekuatan sosial, sekaligus institusi pemaksa, memerlukan legitimasi teoritis-etis sebagai dasar perannya itu. Ekuitas pada titik ini memerlukan sebentuk teori legitimasi etis. Teori-teori legitimasi etis konsep kepemilikan yang berkembang dalam muatannya dicirikan pula oleh nilai-nilai ideologis dan paradigma ideologi yang mendasarinya.

Bentuk-bentuk normatif konsep kepemilikan diderivasi dari berbagai paradigma yang berakar dalam epistimologi ideologi kapitalis, syariah. Berbagai paradigma konsep kepemilikan tersebut dapat diperbandingkan guna memperoleh pemahaman hak kepemilikan dari berbagai sudut pandang yang berbeda. Konsep kepemililkan paradigma kapitalis bercirikan kebebasan atas realisasi kepemilikan privat, konsep kepemilikan paradigma syariah menampilkan prinsip keseimbangan antara hak privat dan hak kolektif dalam hak kepemilikan. Dalam konteks akuntansi kapitalis, konsep kepemilikan dalam teori ekuitas yang berlaku umum dipengaruhi oleh aspek-aspek ideologi yang sangat terkait dengan dasar-dasar konsep kepemilikan dalam epistemologi kapitalisme.

Konsep–konsep kepemilikan dari berbagai paradigma terutama paradigma syariah diproyeksikan secara deduktif menjadi hipotesis formulasi teori ekuitas yang berdasarkan paradigma-paradigma tersebut. Hasil formulasi teori ekuitas dari berbagai paradigma yang berbeda mengimplikasikan konsekuensi yang berbeda-beda pula, yang masih harus diteliti lebih lanjut kelebihan dan kekuatannya masing-masing, serta peluang realisasinya dalam lapangan empiris.



DAFTAR PUSTAKA



Accounting Principles Board of AICPA,1971, APB Statement No.04. AICPA Inc.

Arrington, C.E dan J.R Francis, 1989, " Letting the Chat Out of the Bag: Decontruntion, Privilege, and Accounting Reseach", Accounting, organization and Society, Vol. 14, Ns 1/23, 1-28


Ash Shiddieqy, 1976, T.M., Pedoman Zakat, Bulan Bintang, Jakarta

Ash-Shadar, Muh. Baqir, 1994, Falsafatuna-Pandangan Muhammad Baqir Ash-Shadar terhadap berbagai Aliran Filsafat Dunia, Ter. M.N. Mufid bin Ali, Mizan, cet 4. Bandung.


Baydon, nabil dan Roger Willer, 1994, Islamic Accounting Theory, The AANZ Annual conference, 3-6 Juni, Australia.


Behesti, M.H., 1988, Kepemilikan dalam Islam, diterjemahkan oleh Lukman Hakim dan Ahsin M. Pustaka Hidayah, Jakarta


Belkaoui, Ahmed, 1981, Accounting Theory, hercourt Brave Jovanovich, Inc, New York.


Dillard, Dudley, 1987, " Kapitalisme" dalam M.D Rahardjo, LPE3S, Jakarta

Durkhem, Emil, 1986, Durkheim dan Pengantar Sosiologi Moralitas, terj, Taufiq Abdullah dan A.C. Van der Leeden, yayasan obor Indonesia, Jakarta.


Gaffiikin, M.J.R, 1996, " Accounting for now and the Future". Accounting;past present, and future seminar, STIE Malangkuceswara, Malang.


Gambling, Trevor, and R.A. Abdul Karim, 1991, Business and accounting Rthics in Islam, Manshell Publishing Ltd, London


Ghozali, Imam, 1996, " Perkembangan Paradigma penelitian Akuntansi", media Akuntansi, no 13, 46-49


Heilbroner, Robert L., 1991, Hakekat dan Logika Kapitalisma, terj. Hartono Hadikusumo, LP3ES, Jakarta.


IAI, 1995, Standar Akuntansi keuangan, Salemba Empat, Jakarta.

Larrain, Jorge, 1996, Konsep Ideologi, terj oleh Ryadi gunawan, LKPSM, Yogyakarta.

Macpherson, C>B, 1989, Pemikiran Dasar Hak Milik, Cet I, Terj. C. Woekirsari dan Haryono, YLBHI, Jakarta.


Munief, H., 1997," Analisa Perbandingan Konsep kepemilikan dalam Akuntansi Modern dan Akuntansi Syariah," Skripsi. Jurusan Akuntansi fakultas Ekonomi universitas Padjadjaran, Bandung.


Safri Harahap, Sofyan, 2001, " Menuju Perumusan Teori Akuntansi Islam" November 2001, Pustaka Quantum, Jakarta.


Sawarjuwono, Tjiptohadi, 1995," Aplikasi Nilai-nilai Islam ke dalam Standar Akuntansi Keuangan, perlukah?", media Akuntansi, 08, 52-57


Triyuwono, Iwan, 1996, " Teori Akuntansi berhadapan nilai-nilai Islam", Journal Kebudayaan dan peradaban-Ulumul Qur'an, no. 5, 44-60


Triyuwono, Iwan, 2000, Organisasi dan Akuntansi Syariah: Implementasi nilai keadilan dalam format metafor amanah, journal Akuntansi dan Auditing Indonesia Vol 4, no 1, 1-34


Wibisana, M. Yusuf, 1989." Akuntansi Sosial: Evolusi dalam sejarah Akuntansi". Media Akuntansi, 4, 45-49







Tidak ada komentar: