Jumat, 13 Juni 2008

Bunga Rampai; Mengenal Ekonomi Islam

Bunga Rampai; Mengenal Ekonomi Islam

1.Mukaddimah

Dunia telah mengalami polarisasi dari dua kekuatan sistem ekonomi, ditandai dengan adanya dua negara adidaya sebagai representasi dari dua sistem ekonomi tersebut, Amerika dan Sekutu Eropa Baratnya merupakan bagian kekuatan dari Sistem Ekonomi Kapitalis, sedangkan Sistem Ekonomi Sosialis diwakili oleh Uni Soviet dan Eropa Timur serta negara China dan Indochina seperti Vietnam dan Kamboja. Dua Sistem Ekonomi ini lahir dari dua muara Ideologi yang berbeda sehingga Persaingan dua Sistem Ekonomi tersebut, hakikatnya merupakan pertentangan dua ideologi politik dan pembangunan ekonomi. Posisi negara Muslim setelah berakhirnya Perang Dunia ke-2 menjadi objek tarik menarik dua kekuatan ideologi tersebut, hal ini disebabkan tidak adanya Visi rekonstruksi pembangunan ekonomi yang dimiliki para pemimpin negara muslim dari sumber Islami orisinil pasca kemerdekaan sebagai akibat dari pengaruh penjajahan dan kolonialisme barat.

Dalam perjalanannya dua Sistem Ekonomi tersebut jatuh bangun, Sistem Kapitalis - yang berorientasi pada pasar - sempat hilang pamornya setelah terjadi Hyper Inflation di Eropa tahun 1923 dan masa resesi 1929 - 1933 di Amerika Serikat dan negara Eropa lainnya. Sistem Kapitalis dianggap gagal dalam menciptakn kesejahteraan masyarakat dunia akibat dampak sistem yang di kembangkannya.

Momentum ini digunakan oleh Keynesian untuk menerapkan Sistem Ekonomi Alternatif - yang telah berkembang ideologinya- dipelopori oleh Karl mark, sistem ini berupaya menghilangkan perbedaan pemodal dari kaum baruh dengan Sistem Ekonomi tersentral, dimana negara memiliki otoritas penuh dalam menjalankan roda perekonomian, tetapi dalam perjalanannya sistem ini pun tidak dapat mencarikan jalan keluar guna mensejahterakan masyarakat dunia sehingga pada akhir dasawarsa 1980-an dan awal dekade 1990-an hancurlah Sistem Ekonomi tersebut ditandai dengan runtuhnya tembok Berlin dan terpecahnya Negara Uni Soviet menjadi beberapa bagian.

Awal tahun 1990-an dunia seakan hanya memiliki satu Sistem Ekonomi yaitu Ekonomi Orientasi Pasar dengan perangkat bunga sebagai penopang utama, negara-negara Sosialispun bergerak searah dengan trend yang ada sehingga muncullah istilah neososialis yang sesungguhnya adalah modifikasi Sistem Sosialis dan perubahannya kearah sistem "Mekanisme Pasar". Tetapi walaupun modifikasi Sistem Ekonomi Pasar dan Neososialis yang dijalankan pasca Perang Dunia ke-2 menuju kearah dualisme Sistem Ekonomi, tetap belum mampu untuk mencari solusi dari krisis dan problematika ekonomi dunia diantaranya inflasi, krisis moneter Internasional,Problematika Pangan, Problematika hutang negara berkembang dll. Disaat yang sama negara-negara dunia ketiga mengalami masalah keterbelakangan dan ketertinggalan dalam seluruh aspek, penyebab utamanya adalah negara tersebut memakai model pembangunan negara barat yang tidak selalu sesuai dengan kondisi Ekonomi, Sosial dan Politik negara dunia ketiga hingga tidak akan pernah dapat menyelesaikan permasalahan yang ada. Bersama dengan problematik dunia tersebut, adanya suara nyaring untuk menemukan Sistem Ekonomi dunia baru yang dapat mensejahterakan masyarakat dunia atas dasar Keadilan,dan persamaan Hak.

Pada dekade 70-an mulailah timbul sosok Ekonomi Islam dan Lembaga Keuangan Islam dalam tatanan dunia Internasional, kajian Ilmiah tentang Sistem Ekonomi Islam marak menjadi bahan diskusi kalangan akademisi diberbagai Universitas Islam, hasil kajian tersebut dalam tataran aplikatif mulai menuai hasilnya dengan didirikan Islamic Development Bank di Jeddah tahun 1975 yang diikuti dengan berdirinya bank-bank Islam dikawasan Timur Tengah. Hal ini bahkan banyak menggiring asumsi masyarakat bahwa Sistem Ekonomi Islam adalah Bank Islam, padahal Sistem Ekonomi Islam mencakup ekonomi makro, mikro, kebijakan moneter, kebijakan fiskal, Fublic Finance, model pembangunan ekonomi dan instrumen-instrumennya.

  1. Pengertian Ekonomi Islam

Dalam banyak literatur modern, istilah ilmu ekonomi secara umum dipahami sebagai suatu studi ilmiah yang mengkaji bagaimana orang-perorang atau kelompok-kelompok masyarakat menentukan pilihan. Pilihan harus dilakukan manusia pada saat akan memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari karena setiap manusia mempunyai keterbatasan (kelangkaan) dalam sumberdaya yang dimilikinya. Pilihan yang dimaksud menyangkut pilihan dalam kegiatan produksi, konsumsi, investasi, serta kegiatan distribusi barang dan jasa di tengah masyarakat. Intinya, pembahasan ilmu ekonomi ditujukan untuk memahami bagaimana masyarakat mengalokasikan keterbatasan (kelangkaan) sumberdaya yang dimilikinya.

Ilmu ekonomi membahas aktivitas yang berkaitan dengan: alokasi sumberdaya yang langka dalam kegiatan produksi untuk menghasilkan barang dan jasa; cara-cara memperoleh barang dan jasa; kegiatan konsumsi, yakni kegiatan pemanfaatan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan hidup; kegiatan investasi, yakni kegiatan pengembangan kepemilikan kekayaan yang dimiliki; serta kegiatan distribusi, yakni bagaimana menyalurkan barang dan jasa yang ada di tengah-tengah masyarakat. Seluruh kegiatan ekonomi—mulai dari produksi, konsumsi, investasi, serta distribusi barang dan jasa tersebut—dibahas dalam ilmu ekonomi yang sering dipaparkan dalam berbagai literatur ekonomi kapitalis.

Pandangan sistem ekonomi kapitalis di atas—yang memasukkan seluruh kegiatan ekonomi; mulai dari produksi, konsumsi, investasi, hingga distribusi dalam pembahasan ilmu ekonomi—berbeda dengan pandangan sistem ekonomi Islam. Perbedaan ini dapat diketahui dengan merujuk pada sumber-sumber hukum Islam berupa al-Quran dan as-Sunnah. Dalam sebuah hadis, Rasulullah saw. bersabda:

Dua telapak kaki manusia akan selalu tegak (di hadapan Allah) hingga ia ditanya tentang umurnya untuk apa ia habiskan; tentang ilmunya untuk apa ia pergunakan; tentang hartanya dari mana ia peroleh dan untuk apa ia pergunakan; dan tentang tubuhnya untuk apa ia korbankan. (HR at-Turmudzi dari Abu Barzah r.a.).

Hadis di atas memberikan gambaran bahwa setiap manusia akan dimintai pentanggungjawabannya atas empat perkara: umur, ilmu, harta, dan tubuhnya. Tentang umur, ilmu, dan tubuhnya, setiap orang hanya ditanya dengan masing-masing satu pertanyaan. Tentang harta, setiap orang akan ditanya dengan dua pertanyaan, yakni dari mana harta diperoleh dan untuk apa harta dipergunakan. Dengan demikian, Islam mengatur dan memberi perhatian yang besar terhadap aktivitas manusia yang berhubungan dengan harta. Dengan kata lain, Islam memberikan perhatian yang besar pada bidang ekonomi.

Akan tetapi, pengaturan Islam dalam bidang ekonomi tidak mencakup seluruh kegiatan ekonomi. Dalam konteks pengadaan serta produksi barang dan jasa, Islam tidak mengaturnya; bahkan menyerahkannya kepada manusia. Islam hanya mengatur kegiatan ekonomi yang berkaitan dengan tatacara perolehan harta (konsep kepemilikan); tatacara pengelolaan harta, mulai dari pemanfaatan (konsumsi) hingga pengembangan kepemilikan harta (investasi); serta tatacara pendistribusian harta di tengah-tengah masyarakat. Pembahasan tentang pengadaan dan produksi barang dan jasa dipandang sebagai bagian dari ilmu ekonomi. Sementara itu, pembahasan tentang tatacara perolehan, pengelolaan, dan pendistribusian harta di pandang sebagai bagian dari sistem ekonomi. Atas dasar ini, Islam memberikan pandangan yang berbeda terhadap ilmu ekonomi dan sistem ekonomi.

Menurut Islam, dari segi keberadaannya, harta kekayaan terdapat dalam kehidupan secara alamiah; Allah Swt. telah menciptakannya untuk diberikan kepada manusia. Allah Swt. berfirman dalam banyak ayat-Nya, antara lain:

Dialah Yang telah menciptakan untuk kalian semua apa saja yang ada di bumi. (QS al-Baqarah [2]: 29).

Allahlah Yang telah menundukkan untuk kalian lautan agar bahtera bisa berjalan di atasnya dengan kehendak-Nya, juga agar kalian bisa mengambil kebaikannya. (QS Al-Jatsiyah [45]: 12).

(Dialah) Yang menundukkan untuk kalian apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. (QS al-Jatsiyah [45] : 13).

Hendaknya manusia memperhatikan makanannya. Sesungguhnya, Kami benar-benar telah mencurahkan air (dari langit), kemudian Kami membelah bumi dengan sebaik-baiknya, lalu Kami menumbuhkan biji-bijian di bumi itu, anggur dan sayur-sayuran, zaitun dan pohon kurma, kebun-kebun yang lebat, buah-buahan, serta rumput-rumputan untuk kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu. (QS ‘Abasa [80]: 24-32).

Ayat-ayat di atas serta ayat-ayat yang lain yang serupa menunjukkan bahwa Allah Swt. menegaskan bahwa Dia-lah Yang telah menciptakan benda-benda (harta) agar bisa dimanfaatkan oleh manusia secara keseluruhan.

Agar harta kekayaan yang telah Allah Swt. ciptakan tersebut dapat dimanfaatkan oleh manusia, manusia tentu harus melakukan berbagai kegiatan ekonomi untuk dapat mengelolanya. Dalam hal bagaimana bagaimana manusia memproduksi harta kekayaan dunia sekaligus meningkatkan produktivitasnya, Islam, sebagai sebuah prinsip hidup, tidaklah menetapkan cara dan aturan pengelolaan yang khusus. Tidak terdapat satu keterangan pun, baik yang berasal dari al-Quran maupun as-Sunnah, yang menjelaskan bahwa Islam ikut campur dalam menentukan bagaimana cara memproduksi harta kekayaan tersebut. Justru sebaliknya, kita malah menemukan banyak keterangan yang menjelaskan bahwa syariat Islam telah menyerahkan kepada manusia ihwal menggali dan memproduksi kekayaan tersebut. Diriwayatkan bahwa Nabi saw. pernah memberi nasihat kepada orang yang sedang melakukan penyerbukan kurma. Setelah orang tersebut mengikuti nasihat Nabi saw, ternyata orang tersebut mengalami gagal panen. Setelah hal itu disampaikan kepada Nabi saw., beliau bersabda:

Kalianlah yang lebih tahu tentang (urusan) dunia kalian. (HR Muslim dari Anas ra.).

Ada juga hadis yang menjelaskan bahwa Nabi saw. telah mengutus dua orang Muslim berangkat ke Yaman untuk mempelajari industri persenjataan.

Semua ini menunjukkan bahwa syariat telah menyerahkan masalah bagaimana memproduksi harta kekayaan tersebut kepada manusia sesuai dengan keahlian dan pengetahuan mereka. Semua ini, menurut pandangan ekonomi Islam, dimasukkan ke dalam pembahasan ilmu ekonomi yang bersifat universal sehingga boleh dipelajari dan diambil dari manapun asalnya; apakah dari Barat maupun dari Timur.

Berbeda halnya dengan aktivitas ekonomi yang menyangkut tatacara perolehan, pengelolaan (konsumsi dan investasi), dan pendistribusian harta. Dalam hal ini, Islam mengaturnya secara jelas. Hal ini bisa dipahami dari hadis tentang pertanyaan Allah Swt. kepada manusia pada Hari Kiamat kelak, bahwa mereka akan dimintai pertanggungjawaban tentang hartanya: dari mana serta dengan cara apa ia memperolehnya; juga tentang bagaimana ia memanfaatkan hartanya tersebut mulai dari kegiatan konsumsi sampai dengan pendistribusiannya. Pengaturan Islam dalam bidang ini juga dapat dilihat dari hukum-hukum fikih praktis yang mengatur seluruh kegiatan tersebut, seperti hukum tentang sebab-sebab kepemilikan harta; hukum tentang pengembangan kepemilikan harta seperti jual-beli, syirkah (perseroan) dan lain-lain.

Dari segi tatacara perolehan harta kekayaan, Islam telah mensyariatkan hukum-hukum tertentu dalam rangka memperoleh harta kekayaan, seperti hukum berburu, menghidupkan tanah mati, kontrak jasa, industri, waris, hibah, wasiat, dan lain sebagainya. Demikian juga dalam masalah pemanfaatan harta kekayaan, Islam ikut campur tangan secara jelas. Misalnya, Islam mengharamkan pemanfaatan beberapa bentuk harta kekayaan seperti minuman keras, bangkai, daging babi. Selain itu, Islam juga mensyariatkan hukum-hukum tertentu tentang pendistribusian harta kekayaan melalui pemberian harta oleh negara kepada masyarakat; pembagian harta waris; pemberian zakat, infak, sedekah, wakaf, dan lain sebagainya.

Oleh karena itu, jelas bahwa Islam telah memberikan pandangan (konsep) tentang sistem ekonomi, sementara tentang ilmu ekonomi, Islam menyerahkannya kepada manusia. Dengan kata lain, Islam telah menjadikan perolehan dan pemanfaatan harta kekayaan sebagai masalah yang dibahas dalam sistem ekonomi. Sebaliknya, secara mutlak, Islam tidak membahas bagaimana cara memproduksi kekayaan dan faktor produksi yang bisa menghasilkan harta kekayaan, karena hal itu termasuk dalam pembahasan ilmu ekonomi yang bersifat universal.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, Islam membedakan pembahasan ekonomi dari segi produktivitas barang dan jasa serta teknik-teknis yang paling efisien— yang dimasukkan dalam pembahasan ilmu ekonomi—dengan pembahasan ekonomi dari segi cara memperoleh, cara memanfaatkan serta cara mendistribusikan barang dan jasa—yang dimasukkan ke dalam pembahasan sistem ekonomi.

Sementara itu, sistem ekonomi kapitalis menjadikan pembahasan ilmu ekonomi dan sistem ekonomi sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Bahkan, sistem ekonomi kapitalis telah menjadikan pembahasan sistem ekonomi sebagai bagian dari ilmu ekonomi yang berlaku universal. Artinya, pembahasan ekonomi dari segi pengadaan serta peningkatan produktivitas barang dan jasa serta dari segi tatacara perolehan, pemanfaatan, dan pendistribusian-nya disatukan semuanya dalam lingkup pembahasan ilmu ekonomi. Padahal, terdapat perbedaan mendasar di antara keduanya.

Dengan penjelasan ini, dapat kita ketahui dan pahami, bahwa pembahasan sistem ekonomi sangat dipengaruhi oleh pandangan hidup tertentu dan tidak berlaku secara universal. Oleh karena itu, sistem ekonomi dalam pandangan ideologi Islam tentu berbeda dengan sistem ekonomi dalam pandangan ideologi kapitalis ataupun ideologi sosialis-komunis.

c. Perkembangan dan sejarah pemikiran ekonomi islam

Ekonomi Islam dalam perkembangan dewasa ini, kalau kita tilik dari berbagai segi terkhusus maraknya pembukaan cabang dan konversi dari bank konvensional ke bank syariah menarik perhatian publik akan fenomena perkembangan ekonomi Islam. Entahlah motivasi tersebut didasarkan pada keyakinan akan sistem syariah tersebut ataupun sebagai upaya untuk memperbaiki posisi perbankan di mata otoritas moneter. Yang jelas keberadaan Bank Muamalat Indonesia yang tetap eksis sejak berdiri pada tahun 1992 telah membuka alternatif operasional perbankan yang relatif baik dibanding sistem perbankan konvensional yang goyah diterpa badai krisis ekonomi.

Pada saat yang sama kita melihat institusi-institusi ekonomi yang didasarkan kepada hukum Islam pun mulai bermunculan. Munculnya Danareksa Syariah, Institusi Manajemen Zakat, Baitul Mal Wattamwil, Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Syariah, obligasi syariah bahkan Indeks Syariah Jakarta (Islamic Index Jakarta) juga diiringi dengan beberapa instrumen moneter dari otoritas moneter seperti Pasar Uang Antar Bank Syariah (PUAS) dan Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI) semakin memperkuat eksistensi ekonomi syariah.0

Menurut Yusuf Qardawi (seorang pemikir Islam ternama), perkembangan perbankan syariah kini telah mencapai jumlah lebih dari seratus di seluruh dunia. Beberapa perbankan besar telah pula membuka cabang syariah secara penuh (full-pledge bank) maupun dengan sistem windows seperti Standard Chartered Bank, City Bank dengan City Islamic Banknya yang telah berdiri di London, New York dan beberapa negara lainnya.

Di bidang kajian dan pengajaran, ekonomi Islam dan perbankan Islam telah banyak dilirik oleh pihak akademisi. Beberapa universitas dan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) telah membuka jurusan, mata kuliah pilihan maupun organisasi kajian di tingkat dosen dan mahasiswa. Bahkan mahasiswa universitas di Indonesia telah mendirikan Forum Silaturahmi Studi Ekonomi Islam (FoSSEI) yang dideklarasikan pada pertengahan 2000 di Universitas Diponegoro dengan anggota sejauh ini 54 perguruan tinggi se Indonesia.

Beberapa lembaga juga telah berdiri untuk pendidikan yang setingkat dengan D1, D2, D3 dan bahkan untuk yang bersertifikasi. Di luar negeri beberapa Universitas telah menawarkan Program S1, S2 maupun S3, seperti Loughborouh University, Durhaim University, Markfield University ataupun Oxford University di Inggris, Wolonggong University di Australia, International Islamic University Malaysia dan Pakistan, Harvard dengan Islamic Finance-nya, dan lainnya.

banyak ummat Islam sendiri yang tidak tahu. Bisa diduga, bila dicari di perpustakaan fakultas ekonomi berbagai perguruan tinggi di Indonesia, yang banyak dijumpai adalah nama-nama ilmuwan Barat, seperti Adam Smith, David Ricardo, Johan Maynard Keynes atau Karl Marx. Seolah para ilmuwan dan ulama Islam tidak mewariskan ilmu ekonomi.

Padahal jauh berabad-abad sebelum Bapak Ekonomi Barat, Adam Smith (1776 M) dan kawan-kawannya lahir, para ulama dan cendekiawan Islam telah menyumbangkan karya-karya gemilang di bidang ekonomi bagi masyarakat dunia. Mereka itu antara lain Zayd ibn Ali (738 M), Abu Ubayd (838 M), Abu Yusuf (798 M), Ibn Khaldun (1404 M), Al-Farabi (950 M), Ibn Sina (1037 M), Al-Ghazali (1111 M), Ibn Rusyd (1198 M), Ibn Bajja (1138 M), Ibn Tufail (1185 M), dan Ibn Taimiyah (1263 M).

Zayd ibn Ali, cucu Husein ibn Ali ra, tercatat sebagai ekonom pertama yang menjelaskan bolehnya harga tangguh lebih tinggi daripada harga tunai, namun melarang riba dalam bentuk apapun.

Begitu pula Abu Yusuf, adalah ekonom pertama yang menulis secara khusus tentang kebijakan ekonomi (economic policy) dalam kitab Al-Kharaj. Dalam kitabnya itu Abu Yusuf menjelaskan tanggung jawab ekonomi pemerintah untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya. Ia juga membuatkan rincian tentang cara membiayai pembangunan jembatan, bendungan dan irigasi.

Ibn Khaldun membahas berbagai hal dalam bidang perekonomian, mencakup pembagian kerja (division of labor), uang dan harga, produksi dan distribusi, perdagangan internasional, formasi dan pertumbuhan modal, siklus perdagangan, pengeluaran publik, kependudukan, pertanian, industri dan perdangan, makro ekonomi dari pajak, serta kekayaan dan kemakmuran (property and prosperity).

Selama berabad-abad karya mereka menjadi acuan penting para akademisi seluruh dunia, termasuk para mahasiswa dan sarjana Eropa yang belajar ekonomi ke Timur Tengah —yang di kemudian hari disadur dan dijiplak oleh para akademisi Eropa itu.

ternyata teori Pareto Optimum yang sangat terkenal dalam ilmu ekonomi itu diambil dari kitab Nahjul Balaghah karya Khalifah Ali ra. Kemudian Gresham Law dan Oresme Treatise diambil dari kitab karya Ibn Taimiyah. Bahkan Adam Smith saat menulis bukunya berjudul The Wealth of Nation (Harta Bangsa) diduga banyak mendapat inspirasi dari buku Al Amwaal (Harta) karya Abu Ubayd (838 M).

Istimewanya, karya-karya klasik itu masih relevan dan kerap dipakai sebagai acuan penetapan kebijakan pemerintah di masa modern. Seorang penasehat ekonomi mantan Presiden AS Ronald Reagen, bernama Laffler —yang menemukan teori Laffler Curve— pernah berterus-terang bahwa ia mengambil ide Ibn Khaldun dalam mengatasi persolan resesi ekonomi.

Menurut Ibn Khaldun, cara mengatasi resesi adalah dengan mengecilkan pajak dan meningkatkan pengeluaran pemerintah: “Pemerintah (the state) adalah pasar terbesar, ibu dari semua pasar, dalam hal besarnya pendapatan dan penerimaannya. Jika pasar pemerintah mengalami penurunan, maka adalah wajar bila pasar yang lain akan ikut menurun, bahkan dalam agregat yang lebih besar.”

Sejarah pemikiran ekonomi Islam pada dasarnya dapat terbagi atas tiga fase.

Fase pertama (1058M/450H)

didasarkan pada pemikiran para Fukaha (ahli hukum) kemudian para sufi dan akhirnya para ahli filsafat. Pada fase pemikiran ekonomi Islam cenderung bersifat normatif dan terkait dengan sistem nilai masyarakat antara lain, keadilan dan kebijaksanaan serta batasan yang diperbolehkan dalam menyelesaikan masalah ekonomi. Pada fase ini para pemikir ekonomi muslim tidak melahirkan mazhab-mazhab atau aliran ekonomi yang kebenaran dan masa berlakunya dibatsi oleh ruang dan waktu. Pemikiran mereka lebih bersifat sebagai dasar filosofi bagi pemikiran-pemikiran pada fase berikutnya.

Dalam fase ini sudah dibahas mengenai filosofi pengendalian harga, pandangan tentang kebijakan ekonomi keuangan negara termasuk mekanisme sistem pajak, teori uang, pengelolaan barang publik, perilaku konsumen dll (lihat tabel). Beberapa tokoh pada fase ini antara lain : Abu Yusuf, Abu 'Ubayd al Qasim Ibn Sallam, Ibn Miskawaih, Mawardi, Junaid Baghdadi, Muhammad bin Hasan Al-Ahaibani dan Harith Bin Asad Al-Muhasibi.

Fase kedua terjadi pada tahun 1058-1446.

Fase ini sering disebut sebagai fase terjadinya disintegrasi antara pemikiran ekonomi syariah yang ada. Namun disintegrasi ini disebabkan oleh berbedanya asumsi-asumsi yang mendasari teori-teori yang berkembang seperti lazimnya teori-teori sosial ekonomi yang ada. Pemikir yang perlu diselami pemikirannya adalah Al Ghazali dengan magna opusnya "Ihya Ulum al-Din". Ghazali banyak menyoroti tentang hubungan penguasa dan rakyat. Menurutnya, penguasa memiliki kewajiban untuk menolong rakyat yang kekurangan melalui bendahara publik, pengenaan pajak yang melewati yang ditetapkan Syariah hanya boleh untuk pengeluaran pertahanan dan dikenakan kepada yang kaya. Pinjaman oleh negara diperbolehkan Ghazali untuk kondisi-kondisi di atas.

Pemikir lain pada fase ini adalah Ibnu Taimiyah (1263-1328) yang membahas masalah teknis tentang kontrak (perjanjian) transaksi, peranan uang dan pelarangan riba, pengaruh indirect tax terhadap harga yang harus di bayar dan kewajiban publik. Harga menurut Ibnu Taimiyah merupakan interaksi dari penewaran dan permintaan barang yang berberapa abad kemudian juga dikemukakan oleh Alfred Marshall seorang ekonom neoklasik (1842-1924). Menurut Ibnu Taimiyah interfensi harga hanya boleh dilakukan pada pasar monopoli yaitu pada harga keseimbangannya (Ibnu Taimiyah's Price).

Buku 'Muqaddimah' merupakan karya terbesar dalam analisa sosial, politik dan ekonomi dalam tradisi Islam yang disumbangkan oleh Ibnu Khaldun pada fase kedua ini. Pentingnya division of labor telah dibahas dalam buku ini sebelum Adam Smith menjelaskannya dalam 'The Wealth of Nation'. Sumbangan pemikiran lainnya adalah mengenai analisa makroekonomi dari perpajakan dan pengeluaran publik serta perdagangan internasional, pembentukan modal (capital formation) dan pertumbuhan (growth).

Fase ketiga

dalam sejarah perkembangan pemikiran ekonomi Islam melahirkan tokoh-tokoh seperti Shah Wali Allah pada tahun 1703-1762 serta Muhammad Iqbal pada periode 1873-1938. Buku Shah Wali Allah yang berjudul "Hujjah Allah al-Balighah"menjelaskan tentang jalan fikiran ketentuan syariah untuk perilaku pribadi dan organisasi sosial. Sedangkan Iqbal dalam bukunya "Puisi (poet) dari Timur" menunjukkan tanggapan Islam terhadap kapitalisme barat dan reaksi ekstrem komunisme.


  1. Konsep,system, dan Prinsip ekonomi islam

Pertanyaan yang kemudian timbul adalah sebenarnya apakah ekonomi Islam itu dan apa yang membedakan dengan keberadaan konsep ekonomi yang selama ini menjadi mainstream dunia? Paul A Samuelson dalam bukunya Economics mengatakan bahwa dasar dari ilmu ekonomi adalah Bible (Injil). Dalam ekonomi Islam, dasar ilmu ekonominya adalah Al Qur'an dan Hadist. Tentu pengembangannya akan terletak pada para ahli hukum Islam, filsuf dan ekonom yang mengembangkannya berdasar kesepakatan ulama atau ahli (Itjtihad) dengan tidak bertentangan dengan nilai-nilai dan aturan dasar dari kedua sumber dasar tersebut (Al Quran dan Hadist).


Dengan sumber utama hukumnya Al Qur'an dan Hadits tersebut akan terimplikasi pada beberapa prinsip dasar yang merupakan aktualisasi dari falsafah ketuhanan dalam kegiatan ekonomi, yaitu :

1. Prinsip Kepemilikan menjelaskan bahwa Allah SWT adalah pemilik mutlak dari semua kekayaan (QS 5:17-18), sementara manusia adalah pemegang amanah dari-Nya, selama ia masih hidup di dunia ini.

2. Prinsip Keseimbangan dan Keadilan diterjemahkan dengan perilaku hidup sederhana, keseimbangan antara kepentingan individu dan masyarakat dengan mekanisme zakat, keadilan dalam produksi, konsumsi dan distribusi.

3. Prinsip Persaudaraan yang mempunyai implikasi berupa larangan Islam terhadap kegiatan ekonomi anti sosial seperti monopoli yang justru menyengsarakan masyarakat.


Prinsip-prinsip tersebutlah yang kemudian dikembangkan dalam elemen-elemen perekonomian yang lebih bersifat teknis oleh para filsuf, ahli hukum (fukaha) dan ekonom Islam. Perbedaan nilai tersebut tentu saja menciptakan perbedaan karakteristik ekonomi Islam. Beberapa hal yang sangat mencirikan ekonomi Islam adalah :

1. Pelarangan terhadap Riba

Pelarangan riba ini bersumber dari beberapa ayat dalam di Al Qur'an. Beberapa studi telah dilakukan tentang rasionalitas di balik pelarangan Riba. Salah satu yang paling komprehensif adalah karya Umer Chapra dalam bukunya "The Future of Economics" atau karya Hayek dan Vogel.

2. Implementasi sistem Zakat

Zakat merupakan suatu mekanisme distribusi pendapatan yang dikenakan pada asset yang memenuhi jumlah dan waktu tertentu atau mencapai nisabnya. Zakat menjadi instrumen yang penting di dalam kebijakan fiskal suatu perekonomian syariah. Namun zakat bukan merupakan satu-satunya sumber income kebijakan fiskal dalam ekonomi syariah. Selain zakat juga dikenal adanya jizyah, kums, kharaj dan instrumen lainnya. Dalam Islam, sebenarnya juga dikenal konsep mengenai pajak yang selama ini dipakai sebagai instrumen fiskal dari sistem ekonomi konvensional.

Namun dalam hal ini, perbedaan mendasar dalam memandang pajak adalah bahwa terdapat penekanan tentang keberadaan pajak dianggap sebagai suatu hal yang boleh dilakukan pemerintah jika instrumen fiskal syariah tidak mencukupi pengeluaran pemerintah.


Secara umum kendala umum yang dihadapi oleh suatu sistem ekonomi adalah bagaimana menjembatani dimensi normatif (filosofis) dengan dimensi positif yang kerapkali dijadikan indikator keberhasilan suatu sistem. Dalam sistem ekonomi kapitalis yang kebanyakan dianut oleh negara-negara di dunia, dimensi normatif kerapkali diserahkan kepada individu pelaku ekonomi dan mengalami suatu dikotomi sehingga keberadaan ekonomi sebagai ilmu sosial seringkali terasa 'bebas nilai'.

Adanya dikotomi inilah yang coba dihilangkan oleh ekonomi Islam. Penerapan nilai-nilai Islam dalam pelaksanaan kegiatan ekonomi adalah salah satu upaya dalam menyelaraskan aspek normatif yang berhubungan dengan sistem nilai masyarakat (dalam hal ini Islam) dengan aspek positif (aspek yang bersifat teknis) dalam suatu perekonomian.

Perkembangan dari pemikiran-pemikiran Ekonomi Islam yang relatif normatif masih memerlukan suatu "jembatan" yang akan mengantarkannya pada penerapan yang baik pada sisi praktis positifnya. Penciptaaan "jembatan" ini tentu akan membutuhkan waktu, sebagaimana sistem ekonomi lainnya dulu pernah dapatkan.

Akhirnya, apapun filosofi dan science dari suatu sistem perekonomian yang ditawarkan, tujuan akhirnya adalah menciptakan kesejahteraan bagi manusia dan kemanusiaannya. Implementasi suatu sistem pasti membutuhkan waktu. Sejauh manakah waktu yang dibutuhkan merupakan tantangan bagi para pemikir ekonomi syariah untuk mewujudkan suatu sistem ekonomi syariah yang mapan dan dinamis sesuai perkembangan zaman.


  1. Problematika Ekonomi dan Solusinya

Terdapat perbedaan penting antara sistem ekonomi Islam dengan sistem ekonomi lainnya, khususnya Kapitalisme, dalam memandang apa sesungguhnya yang menjadi permasalahan ekonomi manusia. Menurut sistem ekonomi kapitalis, permasalahan ekonomi yang sesungguhnya adalah kelangkaan (scarcity) barang dan jasa. Alasannya, setiap manusia mempunyai kebutuhan yang beranekaragam dan jumlahnya tidak terbatas, sementara sarana pemuas (barang dan jasa) yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia terbatas. Kebutuhan yang dimaksud mencakup kebutuhan (need) dan keinginan (want). Menurut pandangan ini, pengertian antara kebutuhan (need) dan keinginan (want) adalah dua hal yang sama, yakni kebutuhan itu sendiri. Setiap kebutuhan yang ada pada diri manusia menuntut untuk dipenuhi oleh alat-alat dan sarana-sarana pemuas kebutuhan yang jumlahnya terbatas. Karena kebutuhan manusia jumlahnya tidak terbatas, sementara alat dan sarana yang digunakan untuk memenuhinya terbatas, maka muncullah konsep kelangkaan.

Dari pandangan tersebut di atas, sistem ekonomi kapitalis menetapkan bahwa problem ekonomi akan muncul pada setiap individu, masyarakat, atau negara karena adanya keterbatasan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan yang tidak terbatas. Oleh karena itu, lantas disimpulkan bahwa problem ekonomi yang sesungguhnya adalah akibat adanya kelangkaan (scarcity).

Dari pandangan demikian, muncul pula solusi untuk memecahkan problem ekonomi tersebut yang menitikberatkan pada aspek produksi dan pertumbuhan. Tujuannya adalah untuk meningkatkan barang dan jasa agar dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Perhatian sistem ekonomi kapitalis yang begitu besar terhadap aspek produksi dan pertumbuhan ekonomi ini justru sering mengabaikan aspek distribusi dan kesejahteraan masyarakat banyak. Hal ini dapat dilihat dari keberpihakan yang sangat besar kepada para konglomerat. Alasannya, pertumbuhan yang tinggi dengan mudah dapat dicapai dengan jalan ekonomi konglomerasi, sebaliknya sulit dan lambat jika ditempuh dengan mengandalkan ekonomi kecil dan menengah.

Karena sangat mengandalkan pada pertumbuhan ekonomi suatu negara, maka sistem ekonomi kapitalis tidak lagi memperhatikan apakah pertumbuhan ekonomi yang dicapai betul-betul real, yakni lebih mengandalkan sektor real, ataukah semu, yakni mengandalkan sektor non-real (sektor moneter). Dalam kenyataannya, dalam sistem ekonomi kapitalis, pertumbuhan yang terjadi lebih dari 85 persennya ditopang oleh sektor non-real, sementara sisanya sektor real. Akibatnya, ketika sektor moneter ambruk, ekonomi negara-negara yang menganut sistem ekonomi kapitalis juga ambruk.

Berbeda dengan sistem ekonomi kapitalis, sistem ekonomi Islam menetapkan bahwa problem ekonomi yang utama adalah masalah rusaknya distribusi kekayaan di tengah masyarakat. Menurut Islam, pandangan sistem ekonomi kapitalis yang menyamakan pengertian kebutuhan (need) dengan keinginan (want) adalah tidak tepat dan tidak sesuai dengan fakta. Keinginan (want) manusia memang tidak terbatas dan cenderung untuk terus bertambah dari waktu ke waktu. Sementara itu, kebutuhan manusia ada yang sifatnya pokok (al-hâjât al-asasiyah) dan ada yang sifatnya pelengkap (al-hâjât al-kamaliyah) yakni berupa kebutuhan sekunder dan tersier. Kebutuhan pokok manusia berupa pangan, sandang, dan papan dalam kenyataannya adalah terbatas. Setiap orang yang telah kenyang memakan makanan tertentu, pada saat itu sebenarnya, kebutuhannya telah terpenuhi dan dia tidak menuntut untuk memakan makanan lainnya. Setiap orang yang sudah memiliki pakaian tertentu, meskipun hanya beberapa potong saja, sebenarnya kebutuhannya akan pakaian sudah terpenuhi. Demikian pula jika orang telah menempati rumah tertentu untuk tempat tinggal, meskipun hanya dengan jalan menyewa, sebenarnya kebutuhannya akan rumah tinggal sudah terpenuhi. Jika manusia sudah mampu memenuhi kebutuhan pokoknya maka sebenarnya dia sudah dapat menjalani kehidupan ini tanpa mengalami kesulitan yang berarti.

Sementara itu, kebutuhan manusia yang sifatnya pelengkap (sekunder dan tersier) memang pada kenyataannya selalu berkembang terus seiring dengan tingkat kesejahteraan individu dan peradaban masyarakatnya. Namun, perlu ditekankan di sini, bahwa jika seorang individu atau suatu masyarakat tidak mampu memenuhi kebutuhan pelengkapnya, namun kebutuhan pokoknya terpenuhi, maka individu atau masyarakat tersebut tetap dapat menjalani kehidupannya tanpa kesulitan berarti. Oleh karena itu, anggapan orang kapitalis bahwa kebutuhan manusia sifatnya tidak terbatas adalah tidak tepat, karena ada kebutuhan pokok yang sifatnya terbatas selain memang ada kebutuhan pelengkap yang selalu berkembang dan terus bertambah.

Berbeda halnya dengan kebutuhan manusia. Keinginan manusia memang tidak terbatas. Sebagai contoh, seseorang yang sudah dapat makan kenyang—kebutuhan akan makanan sudah terpenuhi—tentunya ia dapat saja menginginkan makanan lainnya sebagai variasi dari makanannya. Demikian pula seseorang yang telah berpakaian—kebutuhan akan pakaian telah terpenuhi—tentunya dapat pula menginginkan pakaian lainnya yang lebih bagus dan lebih mahal. Contoh lainnya adalah seseorang yang telah memiliki rumah tinggal—kebutuhan papannya telah terpenuhi—tentunya dapat saja menginginkan rumah tinggal yang lebih besar dan lebih banyak. Oleh karena itu, kebutuhan pokok manusia sifatnya terbatas, sementara keinginan manusia memang tidak pernah akan habis selama ia masih hidup. Oleh karena itulah, pandangan orang-orang kapitalis yang menyamakan antara kebutuhan dan keinginan adalah tidak tepat dan tidak sesuai dengan fakta yang ada.

Oleh karena itulah, permasalahan ekonomi yang sebenarnya adalah jika kebutuhan pokok setiap individu masyarakat tidak terpenuhi. Sementara itu, barang dan jasa yang ada, kalau sekadar untuk memenuhi kebutuhan pokok seluruh manusia, maka jumlah sangat mencukupi. Namun demikian, karena distribusinya sangat timpang dan rusak, maka akan selalu kita temukan—meskipun di negara-negara kaya—orang-orang miskin yang tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok mereka secara layak.

Atas dasar inilah, persoalan ekonomi yang sebenarnya adalah rusaknya distribusi kekayaan di tengah-tengah masyarakat. Untuk mengatasinya, menurut sistem ekonomi Islam, haruslah dengan jalan memberi perhatian yang besar terhadap upaya perbaikan distribusi kekayaan di tengah-tengah masyarakat, namun aspek produksi dan pertumbuhan tetap tidak diabaikan

  1. Karekteristek ekonomi islam

Sebutan “Ekonomi Islam” melahirkan kesan beragam. Bagi sebagian kalangan, kata ‘Islam’ memposisikan Ekonomi Islam pada tempat yang sangat esklusif, sehingga menghilangkan nilai kefitrahannya sebagai tatanan bagi semua manusia. Bagi lainnya, Ekonomi Islam digambarkan sebagai ekonomi hasil racikan antara aliran kapitalis dan sosialis, sehingga ciri khas khusus yang dimiliki oleh Ekonomi Islam itu sendiri hilang.

Padahal sebenarnya Ekonomi Islam adalah satu sistem yang mencerminkan fitrah dan ciri khasnya sekaligus. Dengan fitrahnya Ekonomi Islam merupakan satu sistem yang dapat mewujudkan keadilan ekonomi bagi seluruh umat. Sedangkan dengan ciri khasnya, Ekonomi Islam dapat menunjukkan jati dirinya – dengan segala kelebihannya -- pada setiap sistem yang dimilikinya

Keraguan banyak pihak tentang eksistensi Sistem Ekonomi Islam sebagai model alternatif sebuah sistem tak terelakan, pandangan beberapa pakar mengatakan Sistem Ekonomi Islam hanyalah akomodasi dari Sistem Kapitalis dan Sosialis nyaring disuarakan, tetapi hal tersebut terbantahkan baik melalui pendekatan historis dan faktual karena dalam kenyataanya, terlepas dari beberapa kesamaan dengan sistem ekonomi lainnya terdapat karakteristis khusus bagi Sistem Ekonomi Islam sebagai landasan bagi terbentuknya suatu sistem yang berorientasi terhadap kesejahteraan masyarakat.

Sistem Ekonomi Islam tidak terlepas dari seluruh sistem ajaran Islam secara integral dan komphensif. Sehingga prinsip-prinsip dasar ekonomi Islam mengacu pada saripati ajaran Islam. Kesesuaian Sistem tersebut dengan Fitrah manusia tidak ditinggalkan, keselarasan inilah sehingga tidak terjadi benturan-benturan dalam Implementasinya, kebebasan berekonomi terkendali menjadi ciri dan Prinsip Sistem Ekonomi Islam, kebebasan memiliki unsur produksi dalam menjalankan roda perekonomian merupakan bagian penting dengan tidak merugikan kepentingan kolektif. Kepentingan individu dibuka lebar, tidak adanya batasan pendapatan bagi seseorang mendorong manusia untuk aktif berkarya dengan segala potensi yang dimilikinya, kecenderungan manusia untuk terus menerus memenuhi kebutuhan pribadinya yang tak terbatas di kendalikan dengan adanya kewajiban setiap indivudu trhadap masyarakatnya, keseimbangan antara kepentingan individu dan kolektif inilah menjadi pendorong bagi bergeraknya roda perekonomian tanpa merusak Sistem Sosial yang ada.

Manusia memiliki kecenderungan untuk berkompetisi dalam segala hal. Persaingan bebas menjadi ciri Islam dalam menggerakan perekonomian, pasar adalah cerminan dari berlakunya hukum penawaran dan permintaan yang di representasikan oleh harga, tetapi kebebasan ini haruslah ada aturan main sehingga kebebasan tersebut tidak cacat, pasar tidak terdistorsi oleh tangan-tangan yang sengaja mempermainkannya ; larangan adanya bentuk monopoli, kecurangan, dan praktek riba adalah jaminan terhadap terciptanya suatu mekanisme pasar yang sehat dan persamaan peluang untuk berusaha tanpa adanya keistimewaan-keistimewaan pada pihak-pihak tertentu.

Keseimbangan ekonomi menjadi tujuan di Implementasikan Sistem Ekonomi Islam, landasan upaya menyeimbangkan perekonomian tercermin dari mekanisme yang ditetapkan oleh Islam, sehingga tidak terjadi pembusukan-pembusukan pada sektor-sektor perekonomian tertentu dengan tidak adanya optimalisasi untuk menggerakan seluruh potensi dan elemen yang ada dalam skala makro.

Secara sistematis perangkat penyeimbang perekonomian dalam Islam berupa :
a. Diwajibkannya zakat terhadap harta yang tidak di investasikan, sehingga mendorong pemilik harta untuk menginves hartanya, disaat yang sama zakat tidak diwajibkan kecuali terhadap laba dari harta yang di investasikan, Islam tidak mengenal batasan minimal untuk laba, hal ini menyebabkan para pemlik harta berusaha menginvestasikan hartanya walaupun ada kemungkinan adanya kerugian hingga batasan wajib zakat yang akan dikeluarkan, maka kemungkinan kondisi resesi dalam Islam dapat dihindari.
b. Sistem bagi hasil dalam berusaha (profit and loss sharing) mengggantikan pranata bunga membuka peluang yang sama antara pemodal dan pengusaha, keberpihakan sistem bunga kepada pemodal dapat dihilangkan dalam sistem bagi hasil. Sistem inipun dapat menyeimbangkan antara sektor moneter dan sektor riil.
c. Adanya keterkaitan yang erat antara otoritas moneter dengan sektor belanja negara, sehingga pencetakan uang tidak mungkin dilakukan kecuali ada sebab-sebab ekonomi riil, hal ini dapat menekan timbulnya Inflasi.
d. Keadilan dalam disribusi pendapatan dan harta. Fakir miskin dan pihak yang tidak mampu di tingkatkan pola konsumsinya dengan mekanisme zakat, daya beli kaum dhu'afa meningkat sehingga berdampak pada meningkatnya permintaan riil ditengah masyarakat dan tersedianya lapangan kerja.
e. Intervensi negara dalam roda perekonomian. Negara memiliki wewenang untuk intervensi dalam roda perekonomian pada hal-hal tertentu yang tidak dapat diserahkan kepada sektor privat untuk menjalankannya seperti membangun fasilitas umum dan memenuhi kebutuhan dasar bagi masyarakat.

Ada dua fungsi negara dalam roda perekonomian :
- Melakukan pengawasan terhadap jalannya roda perekonomian dari adanya penyelewengan atau distorsi seperti ; monopoli, upah minimum, harga pasar dll.
- Peran negara dalam distribusi kekayaan dan pendapatan serta kebijakan fiskal yang seimbang.

Inilah model atau sistem ekonomi Islam yang menunjang terbentuknya masyarakat Adil dan makmur. Pendekatan Islam terhadap sistem ekonomi merupakan sebuah pendekatan terhadap peradaban manusia sebagai satu kesatuan, pendekatan ini sangat relevan dan amat mendesak untuk dialamatkan kepada perekonomian yang konfleks dewasa ini

Penutup

Menurut Sabzwari, setelah menyelesaikan masalah politik dan urusan konstitusional, Rasulullah segera merubah sistem ekonomi dan keuangan negara, sesuai dengan ketentuan Quran. Prinsip-prinsip kebijakan ekonomi Islam di masa Rasulullah diringkas oleh Sabzwari sebagai berikut; Kekuasaan tertinggi adalah milik Allah adan Allah adalah pemilik yang absolut atas semua yang ada. Manusia merupakan khalifah Allah di bumi, tapi bukan pemilik yang sebenarnya. Karenanya, apa yang dimiliki oleh manusia adalah sebab izin Allah, sehingga saudara-saudaranya yang kurang beruntung, memiliki hak atas sebagian kekayaan yang dimilikinya. Kekayaan itu tidak boleh ditumpuk, tapi harus berputar. Eksploitasi ekonomi dalam segala bentuknya harus dihilangkan. Membagikan kepemilikan seseorang setelah kematiannya kepada ahli warisnya, serta menetapkan kewajiban (semacam pajak) atas semua individu yang termasuk anggota masyarakat.

Sumber pemasukan baitul maal sendiri berasal dari khums, zakat, kharaj (pajak tanah) dan jizya (pengumpulan pajak).


Dari aspek kebijakan moneter, Karim menyimpulkan, bahwa tak satupun instrumen moneter yang digunakan saat ini diberlakukan pada masa awal periode Islam. Pada masa itu, kredit tidak memiliki peran dalam menciptakan uang. Uang dipertukarkan dengan sesuatu yang benar-benar menciptakan nilai tambah buat perekonomian dan dalam kerangka yang islami. Transaksi lain seperti judi, riba, kali bi-kali, jual beli superficial promissory note dilarang dalam Islam, sehingga keseimbangan antara arus uang dan barang dapat dipertahankan.

Tidak ada komentar: